Komisi Gratis | Bisnis Online Tanpa Modal

Jumat, 13 Januari 2012

Niat


حدثنا الحميدي عبدالله بن الزبير قال حدثنا سفيان قال حدثنا يحي بن سعيد الانصاري قال اخبرني محمد بن ابرهم التيمي انه سمع 
علقمه بن وقاص اليثي سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه علي المنبر قال سمعت رسول الله صلعم.يقول انماالاعمال بالنية
"Menceritakan pada al-humaidi Abdullah bin zubair dari sofyan dari yahya bin sai'd al-ansori, berkata yahya bin ansori, mohammad bin ibrohim mengabarkan padaku bahwa dia mendengar ulaqomah bin waqqos berkata saya mendengar umar bin khattab berkata dalam pidatonya sahabat umar berkata saya mendengar rasul bersabda sesungguhnya amal perbuatan tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan apa yang di niatkannya maka barang siapa yang hijrahnya pada allah dan rasullnya maka hijrahnya pada allah dan rasulnya. Pun barang siapa yang hijrahnya karma untuk mendapatkan dunia atau wanita supaya dapat di kawininya maka ia akan mendapatkannya." (Muttafaqun alaih)
A.    Difinisi niat
Niat secara bahasa adalah al-qashd yang dalam bahasa arabnya keinginan ,maksud, tujuan, arah dan tergerak untuk melakukan sesuatu, baik itu positive maupun negative (lht.fiqih niat.hal.1)
Niat secara istilah adalah tekad hati yang kuat untuk melaukan suatu perbuatan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (lihat, syarah hadist arba’in syaikh ibnu ustmain. Hal. 13). Inila difnisi niat secara bahasa dan istilah.
Nah kalau sudah mengetahui bahwa niat adaalah kenginan atau kehendak hati lalu di manakah tempat niat itu? Pasti antum akan menjawab di hati, karna niat adalah pekerjaan hati bukan pekerjaan mulut.
Nah, jika kit sudah tau tempat niat itu. Dan memang di hatilah tempaat niat itu. Sungguh aneh…!kenapa sebagian orang ada yang melafakan niat, baik itu niat salat, wudlu’ dan seterusnya. Bukankah ini hal yang aneh. Alau mereka di Tanya dari mana mereka mendapatkan amalan seperti itu, mereka pasti menjawab. Ya beginilah yang di ajarkan guru saya, kalau mau salat harus baca “ushalli” atau kalau mau berwudlu’ harus mengucapkan “nawaitu” padahal tidak satupun hadist yang sahih dari rosulullah maupun yang dloif bahwa rasulullah pernah melafaalkan niat, begitu juga para sahabat dan yang lainnya. Jika hal ini di perintahkan tentu rasulullah sudah mengajarkan amalan ini pada kita tetapi hal ini tdak ada sama sakali.(lihat zaadul ma’ad jil.1)
Hal yang sama juga di katakana oleh al-imam abd. Aziz bin Abdullah bin baz di dalam fatwa islamiyah, bahkan para ulama telah sepakat bahwa melafalkan niat tidak wajib, tidak sunnah bahkan ini adalah bid’ah (sesuatu yang baru dalam agama) yang berlawanan dengan syariat. Apabila dia melakukannya dan meyakini itu (mengucapkan niat) adalah bagian dari agama maka dia termasuk orang yang bodoh lagi sesat dan menyesatkan dan perlu di luruskan (lihat fiqih niat, syaikh umar bin sulaiman al-asyqar hal.93)
Maka dari itu betapa pentingnya niat dalam ibadah, apalah arti sebuah ibadah kalau tidak di sertai dengan niat. Adalah layak jika para sahabata (Ashab) berbeda asumsi tentang niat. Apakah termasuk rukun atau syarat dalam ibadah libih-lebih dalam salat?. Mayoritas/kebanyakan sahabat berasumsi bahwa niat termasuk rukun dalam ibadah (salat). Sedang menurut abu tayyib  ibni sibagh niat merupakan syarat dalam ibadah (salat).{asbahu wan nadloir karya jalluddin abdur rahman bin abi bakar as-suyuti as-syafi'I,hal.31}.dengan begitu jelas sudah kalau niat sngat berpengaruh pada nilai ibadah (salat) aeorang hamba. Juga dalam hadis nabi di sebutkan.
عن انس ر.ع. لاعمل لمن لانية له. روه البيهقي.(اسباه والنظاءر)
Artinya: tidak bernialai sebuah amal bagi orang yang tidak meniatinya.
Dalam hadist di atas sudah jelas bahwa niat sangat menentukan nilai dari ibadah (salat) seorang hamba. Sehingga ketika ibadah (salat) itu tidak di niati maka amal perbuatan itu akan sia-sia.
B.    Kesimpulan
Semua amal perbuatan tergantung pada niatnya karna setiap perbuatan di nilai sesuai dengan niatnya. Sebagaimana dalam hadist.
لاثواب الا باانية
Artinya: tidak ada pahala bagi orang yang tidak meniati dalam amal perbuatannya.



                                                                         

Minggu, 08 Januari 2012

HAID

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II MACAM-MACAM DARAH WANITA

A. Darah Haid

B. Darah Nifas

C. Darah Istihadloh

D. Macam-macam warna dan Sifat Darah

BAB III CARA MEMHABEDAKAN DARAH ISTIHADLOH DENGAN HAID ATAU NIFAS

A. Cara Membedakan Darah Istihadloh dengan Haid

1. Mubtadiah Mumayyizah

2. Mubtadiah Ghairu Mumayyizah

3. Mu’tadah Mumayyizah

4. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah liadatiha Qadran Wawaktan

5. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah liadatiha Qadran la Waktan

6. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah dzakirah liadatiha Waktan la Qadran

7. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Naiyah liadatiha QadranWawaktan

B. Cara Membedakan Darah Istihadloh dengan Nifas

1. Mubtadiah dan Mu’tadah yang Mumayyizah

2. Mubtadiah Ghairu Mumayyizah

3. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah liadatiha

4. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Nasiyah liadatiha

BAB IV HAL-HAL YANG DIHARAMKAN BAGI ORANG HAID DAN NIFAS

BAB V PENUTUP


BAB I

PENDAHULUAN

Haid merupakan ketentuan yang telah dituliskan Allah bagi para wanita anak cucu Adam dan Hawa seperti yang telah disabdakan Rasulullah SAW. Yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim.

هذا شيئ كتبه الله على بنات ادم

“Haid ini merupakan sesuatu yang telah ditentukan Allah kepada wanita anak cucu Adam.”[1]

Wanita yang pertama kali haid tidak lain adalah ibunda kita Hawa, setelah diusir dari surga karena memetik buah khuldi dimana Allah bersumpah dalam firman-Nya:

بعزتي وجلالي لادمينك كما ادميتها

“Demi kemulyaan dan keagungan-Ku sungguh Aku akan mengalirkan darahmu sebagaimana kamu mengalirkan getahnya.” [2]

Sejak dari sanalah wanita anak cucu Adam dan Hawa mengeluarkan darah haid secara turun-temurun, dimana sebagian dari hikmahnya berfungsi menjadi suplai makanan bagi bayi yang sedang berada dalam kandungan ibunya. Haid bagi wanita juga telah menimbulkan beberapa aspek hukum dalam agama-agama samawi yang telah diturunkan Allah baik Islam, Yahudi maupun Nasrani. Kalau Yahudi terlalu berlebihan dalam menyikapi wanita yang sedang haid dan menganggapnya najis sehingga harus dimarjinalkan dan diisolasi dari pergaulan, tidak begitu dengan ummat Nasrani yang telah melampaui batas dan tidak memperdulikannya, sehingga menghalalkan wanita yang sedang haid untuk disetubuhi.[3] Di tengah dua ajaran yang kontradiktif inilah Islam datang meluruskan ajaran agama yang telah bengkok dan diselewengkan oleh pemeluknya, menjelaskan tentang hakikat haid yang sebenarnya bahwa darah haid hanyalah kotoran yang keluar pada waktu-waktu tertentu bagi wanita yang pada waktu itu dilarang untuk disetubuhi dan diberi kemurahan untuk menggugurkan kewajiban ibadahnya seperti sholat, ada yang diperintahkan menggantinya pada waktu yang lain seperti puasa, karena dirinya dalam keadaan kotor atau mungkin sedikit lemah, bukan harus dimarjinalkan dan diisolasi dari pergaulan. Perhatikan firman Allah berikut ini:

ويسئلونك عن المحيض قل هو أذى فاعتزلوا النساء في المحيض ولاتقربواهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوا هن من حيث امركم الله إن الله يحب المتطهرين.

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah kotoran, oleh karena itu hendaklah kamu menjauhkan diri darah wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci, apabila mereka telah suci campurilah mereka di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.(QS. Al-Baqarah 222)[4]

Dalam ayat di atas yang dimaksud menjauhkan diri dan tidak mendekati wanita yang sedang haid ialah tidak bersetubuh dengannya atau bersenang-senang dengan bertemu kulit yaitu yang terdapat antara pusar dan lutut. Hal ini didasarkan kepada hadist yang diriwayatkan Abi Daud :

انه صلى الله عليه وسلم سئل عمايحل لرجل من امرأته وهي حائض فقال يحل مافوق الإزر

“Bahwasannya Rosulullah ditanya tentang sesuatu yang halal bagi laki-laki terhadap istrinya yang sedang haid, beliau menjawab, “halal apa yang di atas sarung”. [5]

Sebagian ulama’ diantaranya Imam Syafi’i sendiri berpendapat halal bagi laki-laki terhadap istrinya yang sedang haid kecuali bersetubuh. Hal ini berdasarkan pada hadist yang diriwayatkan Imam Muslim, dimana Rasulullah bersabda :

اصنعوا كل شيئ الا النكاح

“Berbuatlah segala sesuatu kecuali bersetubuh”[6]

Dan hadits yang diriwayatkan oleh Masruq, beliau berkata:

سئلت عائشة ما يحل لرجل من مرأته إذا كانت حائضا قالت كل شيئ الا الجماع

“Saya bertanya kepada Aisyah tentang sesuatu yang dihalalkan bagi laki-laki terhadap isterinya yang sedang haid. Aisyah berkata: segala sesuatu kecuali jima'.”[7]

Oleh karena darah yang keluar dari wanita bukan hanya darah haid, tapi ada juga darah penyakit (Istihadloh). Sedangkan masalah-masalah haid sangat berkaitan erat dengan aspek hukum dalam Islam terutama dalam hal yang berkaitan dengan ibadah dan beberapa larangan dalam agama, tentu harus diketahui perbedaan diantara keduanya, lebih-lebih jika keduanya keluar secara beriringan. Maka berkat kerja keras dan jerih payah para ulama’ terdahulu yang telah merumuskan dan mendefinisikan masing-masing darah yang keluar dari wanita yang telah mereka gali keterangannya dari sumber-sumber Nas dan melalui penelitian-penelitian panjang terhadap wanita. Sehingga masing-masing darah dapat diklasifikasikan dan dibedakan baik dari definisinya maupun dari teori-teori yang telah mereka buat seperti Mubtadiah atau Mu’tadah, Mumayyizah atau Ghairu Mumayyizah dan sebagainya, yang masing-masing mempunyai konsekuensi hukum tersendiri dalam menentukan antara darah haid dengan darah istihadlohnya. Sebagaimana darah haid begitu juga dengan darah nifas, semua aspek hukum yang berlaku bagi darah haid juga berlaku bagi darah nifas, kecuali dalam beberapa permasalahan seperti; ketentuan usia baligh, iddah, dan lain-lain. Karena sebenarnya darah nifas adalah darah haid yang terkumpul dan tidak keluar. Bagi wanita yang sedang hamil sebelum jabang bayi ditiupkan roh, adapun setelah jabang bayi ditiupkan roh, darah haid menjadi suplai makanan baginya yang dihisap melalui pusarnya.

BAB II

MACAM-MACAM DARAH WANITA

Secara garis besar darah yang keluar dari rahim wanita ada Tiga macam yaitu darah haid, darah nifas dan darah istihdhah, untuk mengetahui perbedaan diantara tiga macam darah tersebut di sini penulis akan definisikan satu persatu secara rinci.

A. DARAH HAID

1. Definisi Darah Haid

Haid secara bahasa berarti mengalir, adapun menurut istilah ulama’ fiqh adalah darah yang keluar dari rahim wanita dalam keadaan sehat keluar secara alami tanpa sebab-sebab dan dalam waktu tertentu.[8]

Jadi darah haid adalah darah alami keluar bukan karena sebab penyakit atau sebab-sebab yang lain seperti melahirkan,luka atau keguguran. Darah haid keluar dari ujung pangkal rahim bagian atas. Adapun minimalnya 24 jam dan maksimalnya 15 hari sedang normalnya 6-7 hari. Seseorang dapat haid apabila sudah berusia 9 tahun dan seorang wanita biasanya bebas dari haid adalah pada usia 62 tahun akan tetapi tidak ada batas maksimal bagi usia haid, selama ia masih hidup masih memungkinkan untuk haid.[9] Imam Syafi’i berkata "tidak ada batas akhir untuk usia haid, selama masih hidup wanita masih memungkinkan untuk haid, akan tetapi biasanya Akhir usia haid pada usia 62 tahun."[10] Sedang paling sedikitnya suci antara dua haid adalah 15 hari dan paling banyaknya tidak terbatas karena memungkinkan seorang wanita tidak pernah mengalami haid seperti Siti Fatimah Azzahroh.[11]

2. Syarat-syarat Haid

Dari pembahasan di atas, darah yang keluar dari rahim wanita dapat dikategorikan sebagai darah haid apabila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

a. Wanita yang keluar darah sudah berumur 9 tahun dengan hitungan tahun Hijriah, darah yang keluar sebelum usia 9 tahun tidak dihukumi haid kecuali kurangnya dari 9 tahun tidak sampai 16 hari 16 malam maka tetap dihukumi darah haid.[12]

b. Darah yang keluar tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 15 hari baik darah nya keluar secara terus menerus atau terputus-putus. Maka jika seorang wanita mengalami pendarahan secara terputus-putus dalam beberapa hari, kesemuanya harus dijumlah apabila darah yang keluar sampai 24 jam darah tersebut dihukumi darah haid, dengan catatan masih dalam lingkup 15 hari. [13] tetapi apabila darah yang keluar ketika dijumlah tidak sampai 24 jam, atau meskipun sampai 24 jam tapi sudah keluar dari lingkup 15 hari, darah tersebut dihukumi darah istihadloh. Begitu juga seorang wanita yang mengalami pendarahan secara terus menerus sampai lebih 15 hari maka di sana ada darah istihadlohnya dan untuk membedakan diantara darah haid dan darah istihadlohnya akan penulis ulas dalam Bab II.

Berikut contoh-contoh darah yang keluar terputus-putus :

Contoh I Contoh II

TGL

JAM

PERISTIWA

HUKUM

1.

06-10

Keluar darah

HAID

2.

-

Putus

3.

-

4.

06-10

Keluar darah

5.

-

Putus

6.

-

7.

-

8.

06-12

Keluar darah

9.

-

Putus

10.

-

11.

06-12

Keluar darah

12.

-

Putus

13.

06-10

Keluar darah

14.

-

Putus

Suci

15.

-

Jumlah : 24 jam

TGL

JAM

PERISTIWA

HUKUM

1.

06-10

Keluar darah

ISTIHADHAH

2.

-

Putus

3.

-

4.

06-10

Keluar darah

5.

-

Putus

6.

-

7.

06-12

Keluar darah

8.

-

Putus

9.

06-08

Keluar darah

10.

-

Putus

11.

-

12.

06-10

Keluar darah

13.

-

Putus

14.

-

15.

06-08

Keluar darah

Jumlah : 22 jam

Dalam contoh I di atas darah yang keluar dari tanggal 1-13 semuanya dihukumi darah haid, karena ketika dijumlah darah yang terputus-putus kesemuanya mencapai 24 jam begitu juga pada masa-masa tidak mengeluarkan darah dihukumi haid, pendapat ini menurut Qaul Sahb tapi menurut Qaul Laqthi masa putusnya darah dihukumi suci.[14] sedang dalam contoh II darah yang keluar dari tanggal 1-15 semuanya dihukumi darah istihadloh karena darah yang keluar secara terputus-putus ketika dijumlah tidak sampai 24 jam.

c. Batas antara haid pertama dengan haid berikutnya harus diselingi masa suci paling sedikitnya 15 hari. Apabila kurang dari 15 hari darah yang keluar setelah haid pertama dihukumi darah istihadloh. Untuk lebih jelasnya lihatlah contoh-contoh berikut ini.

Contoh I

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Ket : Tgl 1-5 Haid

Tgl 6-20 Suci

Tgl 21-25 Haid lagi

Dalam contoh di atas tanggal 21-25 dihukumi haid lagi karena darah yang keluar pada tanggal 21-25 sudah diselingi suci 15 hari dari haid yang sebelumnya, jadi mungkin seorang wanita bisa haid dua kali dalam satu bulan.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Contoh II

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26-30

Keluar darah lagi

Keluar darah

Putus

Ket : Tgl 1-7 Haid

Tgl 8-19 Suci

Tgl 20-22 Darah Istihadloh (Suci)

Tgl 23-30 Haid

Dalam contoh di atas merujuk kepada kitab Bughiyatul Mustarsidin darah yang keluar pada 20-22 dihukumi istihadloh, karena sebagai penyempurna masa suci, darah selanjutnya 23-30 dihukumi darah haid dengan syarat darah yang keluar dari tgl 23 tidak lebih dari 15 hari, apabila lebih dari 15 hari maka haid dan sucinya disamakan dengan haid dan suci sebelumnya yaitu haidnya 7 hari dihitung dari tgl 23 dan suci 15 hari.[15] Untuk lebih jelasnya lihat di Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakakirah Li Adatiha Qadran Wa Waktan.

Contoh III

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Ket : Tgl 1-10 Haid

Tgl 11-19 Suci

Tgl 20-25 Darah Istihadloh (Suci)

Dalam contoh di atas darah dari Tgl 20-25 bukan termasuk darah haid tapi darah istihadloh sebab selingan suci dari haid sebelumnya dengan keluarnya darah kedua tidak sampai 15 hari, sedang kalau mau dihitung sebagai kelanjutan dari haid sebelumnya sudah keluar dari lingkup 15 hari.

Contoh IV

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Ket : Tgl 1-3 Haid

Tgl 4-12 Haid

Tgl 13-15 Haid

Tgl 16-18 Suci

Dalam contoh di atas dari 1-15 dihukumi haid semua walaupun pada masa putusnya darah, sebab darah kedua dari tgl 13-15 masih kelanjutan dari haid, sebelumnya karena masih dalam lingkup 15 hari.

3. Hikmah Darah Haid

Ada beberapa hikmah di balik haid yang terjadi pada wanita yang diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Haid bagi wanita bisa menjadi tebusan terhadap dosa-dosa yang telah dilaluinya. Hal ini didasarkan pada hadist yang diriwayatkan Aisyah Ra :[16]

عن عائشة رضي الله عنها أنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ما من امرأة تحيض الا كان حيضها كفارة لما مضى من ذنوبها وإن قالت الحمد لله على كل حال واستغفرالله من كل ذنب كتب الله لهابرأة من النار وجوازا على الصراط وأمانا من العذاب ورفع الله تعالى لها بكل يوم وليلة درجة أربعين شهيدا إذا كانت ذاكرة الله في حيضها

“Dari Siti Aisyah beliau berkata : bersabda Rasulullah SAW, tidaklah tiap-tiap wanita haid kecuali haidnya menjadi tebusan dosa-dosanya yang telah lalu, dan apabila ia membaca “Alhamdulillah ‘ala kulli halin” dan “Astaghafirullah ‘ala kulli dzambin” maka Allah mengharuskan baginya bebas dari neraka, dan bisa melewati sirot, dan selamat dari siksa, dan Allah mengangkatnya tiap hari dan malam 40 derajat orang mati syahid.”

b. Darah haid menjadi suplai makanan bagi bayi yang ada dalam kandungan ibunya yang dicerna melalui pusarnya. Oleh karena itu orang yang sedang hamil haidnya berhenti, jarang sekali orang yang hamil mengalami haid.

c. Keluarnya haid bisa menghilangkan penyakit karena darah haid merupakan kotoran.

d. Bisa menambah kecintaan dan kerinduan bagi suaminya setelah berhenti dari masa haidnya. Karena pada masa-masa haidnya ia tidak punya kesempatan untuk berbagi cinta dengannya.

B. DARAH NIFAS

1. Definisi Darah Nifas

Nifas secara bahasa berarti melahirkan, adapun menurut istilah ulama’ Fiqh adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Walau hanya berupa segumpal darah atau gumpalan daging dengan syarat, selagi tidak dipisah suci selama 15 hari. Apabila sudah dipisah suci selama 15 hari darah yang keluar setelah itu adalah darah haid.[17]

Misalnya seorang wanita melahirkan tanggal 1 dan tidak mengeluarkan darah baru pada tanggal 16 ia mengeluarkan darah, maka darah yang pada tanggal 16 itu tidak dihukumi nifas lagi, akan tetapi darah haid. Dan dimasa-masa dia tidak mengeluarkan darah dihukumi suci, jadi sholat yang ditinggalkan harus diganti. Ini berarti wanita tersebut tidak mengeluarkan darah nifas. Sedangkan Wanita yang mengeluarkan darah nifas secara terputus-putus dengan catatan selama putusnya tidak sampai 15 hari semuanya termasuk darah nifas, begitu juga masa putusnya darah. Tapi kalau putusnya sudah sampai 15 hari maka darah yang keluar setelah itu dihukumi darah haid.

Lihatlah contoh di bawah ini :

Contoh I

Tanggal

Peristiwa

Hukum

1-4

Melahirkan keluar darah

Nifas

5-20

Putus

Suci

21-27

Keluar lagi

Haid

Contoh II

Tanggal

Peristiwa

Hukum

1-30 Muharrom

Melahirkan keluar darah

Nifas

1-10 Saffar

Putus

Nifas

11-25 Saffar

Keluar darah lagi

Nifas

26-30 Saffar

Putus

Suci

1-5 Rabi’ul Awal

Keluar darah lagi

Haid

Dalam contoh I di atas darah yang keluar tanggal 21-27 dihukumi darah haid karena dipisah oleh suci 15 hari dari nifas yang keluar dari tanggal 1-4. Sedangkan dalam contoh II dari tanggal 1 Muharrom sampai tanggal 25 Saffar (55 hari) dihukumi nifas semua karena walaupun diselingi putus hanya 10 hari (1-10) otomatis darah yang keluar lagi tanggal 11-25 masih termasuk darah nifas. Sedang 5 harinya (tanggal 26-30 Saffar) dihukumi suci, karena tanggal 30 Saffar adalah batas maksimal nifas yaitu 60 hari (lihat masa nifas) dihitung dari tanggal 1 Muharrom. Jadi darah yang keluar 5 hari dari tanggal 1-5 Robi’ul Awal tidak termasuk nifas lagi akan tetapi darah haid.

2. Masa Nifas

Paling sedikitnya masa nifas adalah setetes (sebentar) sedangkan umumnya 40 hari dan maksimalnya adalah 60 hari. Batas maksimal nifas 60 hari menurut pendapat Abu Sahal As Shu’luqi didasarkan pada darah haid yang tidak keluar dalam masa kehamilan sebelum ditiupkan roh pada jabang bayi yang ada dalam kandungan, karena darah nifas sebenarnya darah haid yang terkumpul dan tidak keluar sebelum bayi ditiupkan roh, dimana 40 hari mani (nutfah), 40 hari gumpalan darah (alaqoh), dan 40 hari gumpalan daging (mudghah), yang kesemuanya 120 atau empat bulan. Sedangkan paling banyaknya haid tiap-tiap bulan adalah 15 hari yang kalau dijumlah semuanya 60 hari, dan menjadi paling banyaknya nifas. Adapun setelah bayi ditiupkan roh, darah haid itu menjadi suplai makanan bagi bayi yang diserap melalui pusarnya.[18]

Hitungan masa nifas dihitung sejak melahirkan, yaitu sejak keluarnya jabang bayi, sedangkan dihukumi nifas sejak keluarnya darah.[19] Maka bagi wanita yang yang melahirkan dan mengalami keterlambatan dalam darah nifasnya, seperti ia melahirkan tanggal 1 dan baru pada tanggal 10 mengeluarkan darah, maka yang dihukumi nifas sejak tanggal 10, tapi hitungan 60 hari dihitung sejak tanggal 1, jadi masa-masa sebelum keluarnya darah dari tanggal 1-9 dihukumi suci, boleh bagi suaminya menggaulinya, akan tetapi shalat-shalat yang ditinggalkan waktu itu, harus diganti[20].

Darah yang keluar bersamaan dengan jabang bayi atau sebelum melahirkan disebut darah fasad (Istihadloh). Tapi apabila bersambung dengan haid sebelumnya maka dihukumi darah haid juga, walaupun tidak ada pemisah antara haid dan nifas secara nyata, cukup dipisah dengan keluarnya anak[21]. Begitu juga darah yang keluar dari dua anak kembar dapat dihukumi darah haid apabila mencukupi syarat-syarat darah haid, apabila tidak mencukupi maka termasuk darah fasad (Istihadhoh)[22].

Sedangkan batasan suci antara haid dan nifas tidak diharuskan 15 hari bahkan bisa saja hanya dipisah oleh keluarnya jabang bayi. Seperti dalam kasus wanita yang mengalami haid sebelum melahirkan dan terus bersambung sampai melahirkan.

C. DARAH ISTIHADLOH

1. Definisi Darah Istihadloh

Menurut bahasa Istihadloh berarti mengalir, adapun menurut istilah ulama’ Fiqh adalah darah yang keluar dari rahim wanita selain haid dan nifas. Darah istihadloh adalah darah yang keluar dari pangkal bawah rahim wanita dan merupakan darah penyakit.[23]

Oleh karenanya darah istihadloh tidak menghalangi kewajiban shalat atau puasa, bahkan diperbolehkan bagi suami untuk berhubungan badan dengan istrinya di saat istihadloh meskipun darahnya masih tetap mengalir.

Istihadloh merupakan satu kondisi dimana seorang wanita termasuk kedalam katagori “Daimul Hadast” atau hadast yang terus menerus. Maka diharuskan untuk berwudhu’ tiap-tiap mau mengerjakan shalat dan membersihkan vaginanya serta menyumbat dan membalutnya dan bersegera melaksanakan shalat. Apabila tidak bersegera mengerjakan shalat dan masih disibukkan dengan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kemaslahatan shalat, wajib baginya bersuci lagi. Tapi apabila ada hubungannya dengan kemaslahatan shalat seperti menutup aurat, atau menunggu shalat berjema’ah, hal yang demikian tidak apa-apa.[24] Begitu pula darah yang mengalir karena saking banyaknya setelah disumbat dan dibalut (bukan karena kurang kuat dalam membalut) maka hukumnya juga dima’fu. Alat yang dijadikan penyumbat vagina harus tidak ada pada vagina bagian luar. Kewajiban menyumbat rahim apabila sedang tidak berpuasa atau tidak membahayakan, tetapi apabila sedang berpuasa atau membahayakan maka cukup membalutnya saja.[25]

Adapun tata cara wudhu’ bagi orang yang mustahadhah harus menggunakan niat istibahah (agar diperbolehkan) baik untuk sholat, baca alquran dll. bukan raf’ul hadast (menghilakan hadast) karena mustahadloh merupakan hadast yang terus menerus.[26]

“ niat saya wudhu’ agar diperbolehkan (mengerjakan sholat yang difardlohkan/membaca alquran) karena Allah.

Wudhu’ orang istihadloh otomatis batal dengan bersihnya darah (sembuh dari istihadlohnya) dan wajib mengulangi wudhu’ dan sholatnya apabila masih ada waktu yang mencukupi untuk mengerjakan sholat, karena masih tersisa waktu untuk mengerjakan sholat tanpa hadast. begitu juga bagi mustahadloh yang darahnya terbiasa putus dalam waktu lama yang mencukupi untuk berwudhu’ dan mengerjakan sholat. Tapi apabila ternyata darahnya keluar lagi dalam waktu yang tidak mencukupi untuk wudhu’ dan mengerjakan sholat maka tidak usah mengulang wudhu’nya karena wudhu’nya tidak batal.

Sebaliknya muustadloh yang darahnya terbiasa putus dalam waktu sebentar yang tidak mencukupi untuk berwudhu’ dan mengerjakan sholat maka wudhu’sebelumnya tidak batal dengan berhentinya darah dan boleh mengerjakan sholat. Tapi apabila ternyata darahnya berhenti dalam dalam waktu lama yang masih mencukupi untuk berwudhu’ dan mengerjakan sholat maka wajib untuk mengulangi wudhu’ dan sholatnya karena wudhu’ sebelumnya tidak syah.

Mustahadloh yang darahnya terbiasa putus yang lama dalam sewaktu-waktu maka tidak boleh baginya berwudhu’ dan mengerjakan sholat diwaktu keluarnya darah dan harus berwudhu’ danmengerjakan sholat dalam waktu sucinya kecuali apabila takut tidak nutut waktu maka hal yang demikian boleh berwudhu’ dan sholat diwaktu keluarnya darah .

2. Contoh-contoh Darah Istihadloh

Ada beberapa contoh yang termasuk darah Istihadloh, yaitu :

· Darah yang keluar sebelum umur sembilan tahun.

· Darah yang keluar tidak sampai 24 jam.

· Darah yang keluar setelah haid sebelum diselingi 15 hari dan bukan bagian haid dari sebelumnya.

· Darah yang keluar bersama bayi dan tidak bersambung dengan haid sebelumnya.

· Darah yang keluar lebih 15 hari dalam haid atau darah yang keluar lebih 60 hari dalam nifas. Tapi di sini ada cara-cara tertentu untuk membedakan antara darah Istihadloh, dengan haid atau nifas. Jadi tidak berarti 15 hari haid atau 60 hari nifas selebihnya darah Istihadloh, dan hal ini akan penulis bahas dalam BAB III.

D. WARNA DAN SIFAT DARAH

Darah yang keluar dari rahim wanita mempunyai beberapa warna dan sifat, dimana dengan warna dan sifat ini dapat diketahui kuat dan lemahnya darah. Pengetahuan tentang kuat dan lemahnya darah ini sangat berfungsi untuk membedakan antara darah Istihadloh dengan haid atau nifas, apabila kelak ia mengalami Istihadloh dalam artian mengalami pendarahan yang melebihi batas maksimal haid atau nifas.

1. Warna Darah

Adapun warna darah ialah ada lima macam, yaitu : hitam merah, merah kekuning-kuningan (orange), kuning, dan keruh (kotor). Lima macam ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

· Darah hitam lebih kuat dari darah merah.

· Darah merah lebih kuat dari darah orange

· Darah orange lebih kuat dari darah kuning

· Darah kuning lebih kuat dari darah keruh[27]

2. Sifat Darah

Adapun sifat-sifat darah ada empat, yaitu : kental dan bau, kental saja, bau saja, tidak kental dan tidak bau. Empat sifat ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

· Darah yang lebih banyak sifatnya lebih kuat dari yang lebih sedikit sifatnya, seperti darah yang kental dan bau lebih kuat dari yang bau saja atau yang kental saja.

· Darah yang bau lebih kuat darah yang tidak bau.

· Darah yang kental lebih kuat dari darah yang tidak kental. [28]

Adapun urutan kuat lemahnya darah secara lengkap lihatlah daftar di bawah ini yang diurut sesuai dengan urutan abjad, sebagai berikut :

a. Hitam kental berbau.

b. Hitam kental, hitam berbau, merah kental berbau.

c. Hitam, merah kental, merah berbau, orange kental berbau.

d. Merah, orange kental, orange berbau, kuning kental berbau.

e. Orange, kuning kental, kuning berbau, keruh kental berbau.

f. Kuning, keruh kental, keruh berbau.

g. keruh.

Apabila ada dua darah yang kuatnya sama seperti darah yang ada dalam urutan b, seperti hitam kental dengan hitam berbau atau dengan merah kental berbau maka yang dihukumi darah kuat adalah darah yang keluar lebih dahulu.[29]Adapun darah lemah yang bercampur darah kuat disamakan dengan darah kuatnya seperti darah merah yang ada garis-garis hitamnya disamakan dengan darah hitam.[30]

BAB III

CARA MEMBEDAKAN DARAH ISTIHADLOH DENGAN HAID ATAU NIFAS

Darah yang keluar melebihi batas maksimal haid atau nifas di dalamnya terdapat darah istihadloh yang harus dibedakan dengan haid atau nifasnya. Jadi tidak berarti batas maksimalnya haid atau nifasnya langsung dihukumi haid atau nifas secara keseluruhan dan lebihnya adalah darah istihadloh. Disini akan penulis ulas cara-cara untuk membedakan darah istihadloh baik dengan haid atau nifas.

  1. Cara Membedakan Darah Istihadloh Dengan Haid

Untuk bisa mengetahui dan membedakan antara darah haid dengan istihadloh harus diketahui terlebih dahulu tujuh keadaan bagi orang yang sedang mengalami istihadloh yaitu :

§ Mubtadiah Mumayyizah

§ Mubtadiah Ghairu Mumayyizah

§ Mu’tadah Mumayyizah

§ Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li Adatiha Qadaran Wawaktan

§ Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li Adatiha Qadaran Lawaktan

§ Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li Adatiha Waktan La Qadaran

§ Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Nasiyah Li Adatiha Qadran Wawaktan (Mutahayyirah)[31]

Tujuh keadaan ini mempunyai konsekwensi hukum tersendiri dalam menentukan antara darah haid dan darah istihadloh

  1. Mubtadiah Mumayyizah

Mubtadiah Mumayyizah yaitu, wanita yang pertama kali haid, langsung mengalami istihadloh ( mengalami pendarahan lebih 15 hari ) dan dia dapat membedakan darah yang keluar antara darah yang kuat dan yang lemah. Seperti suatu waktu ia melihat darah hitam dan pada waktu yang lain ia melihat darah merah.

Maka hukum haid dan istihadlohnya dikembalikan kepada perbedaan darahnya, darah yang kuat dihukumi haid dan darah yang lemah dihukumi istihadloh. Hal ini apabila memenuhi tiga syarat sebagai berikut :

a. Darah kuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 15 hari ( paling banyak dan paling sedikitnya haid )

b. Darah lemah tidak kurang dari 15 hari ( paling sedikitnya suci ).[32]

c. Darah lemah harus berturut-turut atau bersambung tanpa dipisah darah kuat.[33]

Darah lemah yang dipisah dengan bersihnya darah tetap dianggap bersambung.[34]

Apabila tidak memenuhi tiga syarat ini maka hukumnya sama dengan Mubtadiah Ghairu Mumayyizah (bagian kedua) yaitu yang dihukumi haid Cuma 24 jam mulai dari keluarnya darah.

Bagi mubtadiah mumayyizah pada bulan/putaran pertama diharuskan mandi dan mengganti sholatnya setelah darah yang keluar genap 15 hari selama mengeluarkan darah lemah, adapun pada bulan/putaran kedua dan selanjutnya diwjibkan mandi dan mengrjkan sholatnya setelah darah yang keluar berganti darah lemah.[35]

Contoh-contoh yang memenuhi syarat.

Contoh I Eka haid pertama kali

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Ket : Tgl 1-7 darah haid

Tgl 8-25 darah `Istihadloh

Contoh II Eka haid pertama kali

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25-30

Ket: Tgl 1-5 Darah Istihadloh

Tgl 6-10 Darah Haid

Tgl 11-30 Darah Istihadloh

Contoh III Eka Haid pertama kali

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 - 30

Ket: Tgl 1-5 Istihadloh

Tgl 6-10 Haid

Tgl 11-25 Istihadloh

Tgl 26-30 Haid


Contoh IV Eka haid pertama kali

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Ket: Tgl 1-20 Darah Istihadloh

Tgl 21-25 Darah Haid

Contoh V Eka haid pertama kali

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Ket: Tgl 1-15 Darah Istihadloh

Tgl 16-30 Darah Haid

Dalam kitab Syarqawi dan sarwani dijelaskan hanya mustahadhah seperti dalam contoh V di atas, wanita meninggalkan sholat satu bulan penuh. Apabila ternyata darah hitamnya masih terus berlanjut maka termasuk mubtadiah ghairu mumayyizah (pada bagian kedua) yaitu haidnya 24 jam dan suci 29 hari dihitung sejak pertama kali keluarnya darah, dan diwajibkan mengganti semua shalatnya pada masa-masa yang dihukumi suci.

Contoh VI Eka haid pertama kali

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 - 30

Ket: - Merah

+ Hitam

Ket: Tgl 1-15 Haid

Tgl 16-30 Istihadloh

Contoh VII Eka haid pertama kalinya

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Ket: Tgl 1-10 Haid

Tgl 11-20 Istihadloh

Contoh VIII Eka haid pertama kali

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Ket: Tgl 1-7 Haid

Tgl 8-17 Istihadloh

Ket : Merujuk kepada kitab Syarqawi dan Bujairimi Al Khatib yang merupakan pendapat Imam Zayyadi dalam contoh VII dan VIII seperti di atas tetap dihukumi sebagai Mubtadiah Mumayyizah. Walaupun darah lemahnya kurang dari 15 hari yaitu perbedaan haidnya dikembalikan kepada perbedaan darahnya karena darahnya tidak berlanjut sehingga tidak ada kesamaran antara darah haid dan istihadlohnya.

Contoh IX: Eka haid pertama kali 2 hari darah hitam, dan selanjutnya darah merah selama bertahun-tahun, maka haidnya hanya 2 hari dan selanjutnya darah yang bertahun-tahun dihukumi darah istihadloh semua.[36]

Catatan :

- Jika darah kuat berkumpul dengan darah lemah dan ada yang paling lemah maka yang dihukumi darah istihadloh adalah darah yang paling lemah sedang darah yang kuat dan yang lemah dihukumi haid, dengan beberapa syarat sebagai berikut :

1. Darah kuat keluar terlebih dahulu.

2. Darah kuat bersambung dengan yang lemah (tidak terpisah dengan yang lebih lemah )

3. Jumlah darah kuat dan yang lemah tidak lebih dari 15 hari.[37]

Lihatlah contoh di bawah ini:

Contoh I Eka haid.

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Ket: Tgl 1-15 Haid

Tgl 16-20 Istihadloh

Contoh II Eka Haid

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Ket: Tgl 1-10 Haid

Tgl 11-20 Istihadloh


Contoh III Eka Haid

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 - 30

Ket: Tgl 1-13 Haid

Tgl 14-30 Istihadloh

Tapi apabila tidak memenuhi tiga syarat di atas maka yang dihukumi darah haid tetap darah yang kuat, darah yang lemah dan terlemah adalah darah istihadloh.

Lihatlah contoh-contoh di bawah ini :

Contoh I Eka Haid

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19-25

Ket: Tgl 1-5 Haid

Tgl 6-25 Istihadloh

Contoh II Eka Haid

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19-30

Ket: Tgl 1-5 Istihadloh

Tgl 6-10 Haid

Tgl 11-30 Istihadloh

Contoh III Eka Haid

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24-30

Ket: Tgl 1-10 Haid

Tgl 11-30 Istihadloh

- Darah lemah yang berada di antara darah kuat dihukumi sebagai darah kuat, dan darah kuat yang kedua dihukumi istihadloh.[38]


Contoh Eka Haid

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

Ket: Tgl 1-14 Haid

Tgl 15 21 Istihadloh

- Berapapun warna darah haid yang keluar, akan tetapi tidak melebihi batas maksimal Haid yaitu 15 hari semuanya dihukumi darah haid.

  1. Mubtadiah Ghairu Mumayyizah

Mubtadiah Ghairu Mumayyizah yaitu wanita yang pertama kali haid langsung mengalami istihadloh ( mengalami pendarahan lebih dari 15 hari ) dan ia tidak dapat membedakan darahnya, baik karena darahnya satu macam, atau karena tidak mencukupi tiga syarat yang ditentukan bagi Mubtadiah Mumayyizah.

Maka hukum haidnya hanya 24 jam dihitung sejak keluarnya darah dan sucinya 29 hari.[39] darah yang lebih dari 24 jam dihukumi darah istihadloh hal ini apabila mengetahui permulaan keluarnya darah, apabila tidak mengetahui permulaan keluarnya darah maka ia dihukumi seperti wanita “Mutahayyirah”.[40] dan akan dibahas dibelakang.

Bagi mubtadiah ghairu mumayyizah pada bulan/putaran pertama di haruskan mandi setelah darah yang keluar genap 15 hari dan mengganti sholatnya dalam darah yang dihukumi darah istihadloh. Adapun pada bulan/putaran kedua dan selanjutnya di wajibkan mandi dan mengganti sholatnya setelah darah yang keluar lebih dari 24 jam.[41]

Contoh-contoh Mubtadiah Ghairu Mumayyizah :

a. Wanita haid pertama kali mengalami pendarahan 30 hari sedang darahnya hanya satu macam, maka haidnya 24 jam dihitung dari pertama kalinya keluar darah selebihnya darah istihadloh.

b. Wanita haid pertama kali mengalami pendarahan 60 hari dan dan ia tidak bisa membedakan darahnya. Maka haidnya 24 jam dihitung sejak keluarnya darah 29 hari suci 24 jam haid lagi dan 29 hari istihadloh lagi.

c. Contoh-contoh yang dapat membedakan darahnya tapi tidak mencukupi syarat.


Contoh I Eka haid pertama kali

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Ket : Hukum haidnya hanya 24 jam dimulai dari pertama kalinya keluar darah yaitu tanggal 1, selebihnya dari tanggal 2-25 selebihnya darah istihadloh karena darah lemahnya tidak sampai 15 hari.

Contoh II Eka haid pertama kalinya

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Ket : Hukum haidnya 24 jam dimulai sejak keluarnya darah yaitu tanggal 1 selebihnya 29 hari dari tamggal 2 sampai tanggal 30 adalah darah istihadloh karena darah kuatnya lebih dari 15 hari.

- + - + - + - + - + - + - + - + - + - + - + - + - + - + - +

Contoh III Eka haid pertama kalinya

Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

- Merah

+ Hitam

Ket : Hukum haidnya hanya 24 jam sejak pertama kali keluar darah selebihnya adalah istihadloh, karena darah lemahnya walaupun sampai 15 hari tapi tidak bersambung.

Catatan: Jika dalam kitab Fiqih disebutkan kata bulan secara mutlak maka yang dimaksud adalah bulan hijriyah (yang kadang 30 hari atau 29 hari) kecuali dalam tiga permasalahan: 1. Mubtadiah Gahiru Mumayyizah, 2. Mutahayyiroh, 3. Paling sedikitnya hamil (6 bulan) maka yang dimaksud dalam masalah ini tiga puluh hari.[42]

  1. Mu’tadah Mumayyizah

Mu’tadah mumayyizah adalah wanita sudah pernah haid atau sudah terbiasa haid kemudian mengalami istihadloh dan ia dapat membedakan darah yang jeluar yaitu antara darah kuat dan darah lemah.

Maka hukum haidnya tetap dikembalikan kepada perbedaan darahnya, tidak kepada kebiasaan haid sebelumnya. Darah yang kuat dihukumi darah haid dan darah yang lemah dihukumi darah istihadloh. Hal ini apabila telah memenuhi 3 syarat yang telah disebut dalam mubtadiah mumayyizah di atas, yaitu darah kuat tidak kurang dari 24 jam dan tidak lebih dari 15 hari, sedangkan darah lemahnya tidak kurang dari 15 hari dan berturut-turut.[43] Lihatlah contoh-contoh di bawah ini :

Contoh I Eka haid bulan:

Muharram tanggal 1-5

Shaffar tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Ket : Tgl 1-10 Haid

Tgl 11-25 Istihadloh

Contoh II Eka Haid bulan :

Muharrom : Tgl 1-5

Shaffar : Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30









Merah


Hitam



Hitam



Ket: Haidnya disamakan dengan haid sebelumnya yaitu 5 hari dan selebihnya darah istihadloh karena tidak mencukupi syarat yaitu darah lemahnya kurang 15 hari selengkapnya lihat di MU’TADAH GHAIRU MUMAYYIZAH DZAKIRAH LI ADATIHA QADRAN WA WAKTAN atau QADRAN LA WAKTAN atau WAKTAN LA QODRAN.

Catatan:

Apabila antara kebiasaan haidnya dengan perbedaan darahnya terpisah jarak 15 hari atau lebih. Maka darah lemah yang sesuai kebiasaannya dihukumi haid dan perbedaan darahnya dihukumi haid yang lain.

Contoh Eka haid bulan:

Muharrom Tgl 1-5 lima hari

Shaffar Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

`

Ket: Tgl 1-5 Haid disamakan dengan kebiasaan haid sebelumnya

Tgl 6-20 Istihadloh

Tgl 21-25 Haid lagi karena perbedaan darah.

  1. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li Adatiha Qadaran Wawaktan

Ialah wanita yang sudah pernah atau terbiasa haid dan suci kemudian ia mengalami istihadloh dan tidak dapat membedakan darahnya antara yang kuat dan yang lemah, tapi ingat kebiasaan haid sebelumnya baik lama dan waktu permulaannya.

Maka hukum haid dan istihadlohnya dikembalikan kepada kebiasaan haid dan suci sebelumnya, kebiasaan yang dapat dijadikan pedoman cukup satu kali jika tidak berubah.[44] Misalnya pada haid-haid sebelumnya ia terbiasa haid 5 hari dan suci 25 hari, maka pada haid berikutnya jika ia mengalami istihadloh 5 hari dihukumi haid 25 hari suci, jadi darah yang keluar setelah 5 hari sampai 25 hari dihukumi darah istihadloh. Tapi apabila kebiasaan haid-haid sebelumnya tidak sama, maka cara mengembalikan kepada kebiasaan haid dan sucinya ada tiga klasifikasi sebagaimana berikut.

a. Disamakan dengan kebiasaan haid dan suci yang terakhir sebelum mengalami istihadloh apabila ingat pada hitungan terakhir, dan haid serta sucinya tidak membentuk aturan.[45]

Contoh I

Haid pertama : haid 3 hari, suci 25 hari

Haid kedua : haid 5 hari, suci 27 hari

Haid ketiga : haid 7 hari, suci 20 hari

Haid keempat : haid dan mengalami istihadloh

Maka hukum haidnya pada haid keempat 7 hari dan 20 hari suci (istihadloh) dan begitu seterusnya.

b. Disamakan dengan urutan haid dan suci sebelumnya, apabila haid dan suci sebelumnya membentuk aturan dan kebiasaan haid dan suci dapat dianggap membentuk aturan apabila sudah berulang dua kali:[46]

Contoh I haid dan sucinya membentuk aturan.

Haid pertama : haid 3 hari, suci 25 hari

Haid kedua : haid 5 hari, suci 27 hari

Haid ketiga : haid 7 hari, suci 25 hari

Haid keempat : haid 3 hari, suci 27 hari

Haid kelima : haid 5 hari, suci 25 hari

Haid keenam : haid 7 hari, suci 27 hari

Haid ketujuh : haid dan mengalami istihadloh.

Maka pada haid ketujuh haidnya 3 hari dan 25 hari suci (istihadloh) disesuaikan dengan urutannya dan pada haid selanjutnya jiika darah masih berlanjut dan mengalami istihadloh haidnya 5 hari dan 27 suci (istihadloh) .

Contoh II Haidnya membentuk aturan sedangkan sucinya tidak.

Haid pertama : haid 5 hari, suci 25 hari

Haid kedua : haid 7 hari, suci 27 hari

Haid ketiga : haid 5 hari, suci 20 hari

Haid keempat : haid 7 hari, suci 30 hari

Haid kelima : haid dan mengalami istihadloh

Maka pada haid kelima haidnya 5 hari sesuai dengan urutannya dan 30 hari suci (darah istihadloh) sesuai dengan hitungan suci yang terakhir dan pada haid berikutnya jika darah masih berlanjut dan mengalami istihadloh haidnya 7 hari sesuai dengan urutannya dan tetap 30 hari suci (darah istihadloh).

Contoh III sucinya membentuk aturan sedangkan haidnya tidak.

Haid pertama : haid 6 hari, suci 25 hari

Haid kedua : haid 5 hari, suci 27 hari

Haid ketiga : haid 8 hari, suci 25 hari

Haid keempat : haid 3 hari, suci 27 hari

Haid kelima : haid dan mengalami istihadloh

Maka pada haid kelima ini haidnya adalah tiga hari disamakan dengan hitungan haid yang terakhir dan 25 hari suci disesuaikan dengan ururtannya, dan pada haid selanjutnya jika darah masih berlanjut dan mengalami istihadloh haidnya tetap 3 hari dan suci 27 hari. Disesuaikan dengan urutannya.

c. Haid disamakan dengan hitungan haid yang paling sedikit pada haid-haid sebelumnya dan diwajibkan mandi pada tiap-tiap akhir hitungan haid sebelumnya antara mandi pertama dengan mandi terakhir harus hati-hati ya’ni berlaku hokum mutahayyiraoh. Hal tersebut Apabila:

1) lupa pada hitungan haid yang terakhir. Misalnya kebiasaan haidnya. Haid pertama 3 hari, kedua 7 hari, ketiga 5 hari, keempat lupa, dan kelima haid dan mengalami istihadloh. Maka, haidnya 3 hari disamakan dengan hitungan haid yang paling sedikit, dan diwajibkan mandi pada tiap-tiap akhir hitungan haid sebelumnya, yaitu pada hari ke 3 yang merupakan hitungan haid paling sedikit, pada hari ke 5 dan pada hari ke 7, antara mandi pertama dengan mandi terakhir inilah berlaku hukum mutahayyiroh atau

2) haid sebelumnya membentuk aturan seperti:

Haid pertama 3 hari

Haid kedua 5 hari

Haid ketiga 7 hari

Haid keempat 3 hari

Haid kelima 5 hari

Haid keenam 7 hari

Akan tetapi lupa atau kebingungan dengan urutan ini, apakah haid pertama 3 hari atau 7 hari atau 5 hari, atau meskipun tidak lupa urutannya, tapi lupa pada hitungan haid yang terakhir yakni haid keenam yang 7 hari, maka hukum haidnya juga disamakan dengan hitungan haid yang paling sedikit yakni 3 hari dan selebihnya sampai hitungan haid yang paling banyak yaitu 7 hari berlaku hukum mutahayyiroh. Oleh karenanya diwajibkan mandi pada tiap-tiap akhir hitungan haid sebelumnya, yaitu pada hari ke 3, 5 dan ke 7. [47]

Bagi mu’ tadah ghairu mumayyaizah dzakirah li adatiha qadran wa waktan, pada bulan/putaran pertama diwajibkan mandi setelah darah yang keluar genap 15 dan mengganti semua sholat dalam darah yang sudah lewat dari kebiasaan haidnya. Sedangkan pada bulan/putran kedua dan selanjutnya diwajibkan mandi dan mengerjakan sholat setelah darah yang keluar sudah sampai pada kebiasaan haidnya.[48]

  1. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li Adatiha Qadaran Lawaktan

Ialah wanita yang sudah pernah atau sudah terbiasa haid dan suci, kemudian mengalami istihadloh dan ia tidak bisa membedakan darahnya antara yang kuat dan yang lemah, tapi ingat kebiasaan lama atau jumlah haidnya dan lupa waktu permulaannya.

Maka hukum haid dan istihadloh dikembalikan kepada keyakinannya sebagaimana berikut ini:

a. Diwaktu yakin haid, maka berlaku hukum haid yakni harus meninggalkan semua larangan bagi semua orang haid.

b. Diwaktu yakin suci berlaku hukum suci, yakni wajib mengerjakan segala kewajiban bagi orang yang suci dan boleh mengerjakan hal-hal yang dilarang bagi orang yang haid.

c. Diwaktu mungkin suci/haid berlaku hukum mutahayyiroh yakni dalam kewajiban sama dengan orang suci dalam larangan sama dengan orang haid.(selengkapnya dibagian ketujuh )

d. Diwaktu mungkin suci/haid/berhenti juga berlaku hukum mutahayyiroh seperti di atas dan diwajibkan mandi tiap-tiap mau mengerjakan sholat.[49]

Untuk mengetahui waktu yakin suci, yakin haid, mungkin suci/haid dan mungkin suci/haid/berhenti. Perhatikan rumus-rumus di bawah ini.

1) Waktu yang yakin suci di bulan-bulan sebelumnya dihukumi suci

2) Hitunglah lama atau jumlah haid yang diingat pada bulan sebelumnya dari depan dan belakang di hari yang mungkin haid itu terjadi.

3) Hari yang dapat dihitung dari dua arah depan dan belakang dihukumi haid dengan yakin, sebelumnya dihukumi mungkin suci/haid, dan sesudahnya dihukumi mungkin suci/haid/berhenti. Lihat contoh I II III

4) Apabila tidak ada hari yang dapat dihitung dari dua arah berarti tidak ada yakin haidnya, maka lama atau jumlah haid yang diingat bulan sebelumnya dihitung dari hari pertama yang mungkin haid terjadi dihukumi mungkin suci/haid, dan sesudahnya dihukumi mungkin suci/haid/berhenti. Lihat contoh IV dan contoh V.

Contoh I Eka bulan:

Muharram : haid 10 hari dan lupa permulaanya tanggal berapa, tapi ia ingat haid yang 10 hari terjadi dalam separuh bulan di awal.

Saffar : 1-30




Rumus: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30




Ket: Yakin haid

Mungkin suci/haid

Mungkin suci/haid/berhenti

Yakin suci

Contoh II Eka bulan

Muharrom : Haid lima hari dan lupa waktu permulaannya tanggal berapa, akan tetapi ia ingat bahwasannya haid yang 5 hari terjadi dalam 10 hari di awal bulan, sedang tanggal 1 ia masih suci.

Shaffar : Haid 1-30




Rumus: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 -30




Ket: yakin haid

Mungkin suci/haid

Mungkin suci/ haid

Yakin suci


Contoh III Eka bulan

Muharrom : Haid 7 hari dan lupa waktu permulaannya tanggal berapa. Akan tetapi, ia ingat haid yang 7 hari terjadi dalam 10 hari di awal bulan.

Shaffar : Haid 1-30


Rumus: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 -30

Ket: yakin haid

Mungkin suci/haid

Mungkin suci/haid/berhenti

Yakin suci

Contoh IV Eka bulan

Muharrom : Haid 10 hari lupa permulaannya tanggal berapa. Akan tetapi, 10 hari di akhir bulan ia suci.

Shaffar : Haid 1-30

Rumus : 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 -30

Ket: Mungkin suci/haid

Mungkin suci/haid/berhenti

Yakin suci

Contoh V Eka bulan

Muharrom : Haid 3 hari lupa permulaannya tanggal berapa. Akan tetapi, ia ingat haid yang 3 hari terjadi dalam 10 hari di awal bulan.

Shaffar : Haid 1-30

Rumus: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 -30

Ket: Mungkin suci/haid

Mungkin suci/haid/berhenti

Yakin suci


Contoh VI Eka bulan

Muharrom : Haid 10 hari dan lupa permulaannya tanggal berapa. Akan tetapi, yang jelas ia ingat tanggal 10 dirinya sedang haid.

Shaffar : Haid 1-30

Rumus: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 -30




Ket: Yakin haid

Mungkin haid/suci

Mungkin suci/haid/berhenti

Yakin suci

Tanggal 10 yakin haid karena bulan sebelumnya Ia ingat tanggal 10 sedang haid, jadi 9 hari sebelum tanggal 10 mungkin suci/haid dan 9 hari sesudahnya mugkin suci/haid/berhenti.

Contoh VII Eka bulan

Muharrom : Haid 5 hari dan lupa waktu permulaan haidnya tanggal berapa, dan ia ingat 5 hari di akhir bulan suci, dan ia juga ingat bahwa ia juga pernah suci selain dari yang 5 hari di akhir bulan, tapi ia lupa kapan waktunya dan berapa hari lamanya.

Shaffar : 1-30

Rumus dalam contoh 7 ini untuk mengetahui waktu yang mungkin suci/haid atau mungkin suci/haid/berhenti, harus diketahui lebih dahulu yakin suci yang terjadi selain dari yang 5 hari di akhir bulan. Yaitu dengan cara menghitung 15 hari (paling sedikitnya suci) dari depan dan belakang di hari yang mungkin haid itu terjadi, hari yang dapat dihitung dari dua arah itulah dihukumi yakin suci.

Lihatlah rumus berikut ini


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30




Ket: Yakin suci

Mugkin suci/haid

Mungkin suci/haid/berhenti

  1. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li Adatiha Waktan La Qadaran

Ialah wanita yang sudah pernah atau terbiasa haid dan suci, kemudian mengalami istihadloh dan tidak dapat membedakan darahnya, tapi ia ingat kebiasaan waktu haidnya dan lupa lama atau jumlah haidnya berapa hari.

Maka hukum haid dan istihadlohnya juga dikembalikan kepada keyakinannya sama seperti yang Qadran la Waktan (lihat Muhadzab Jilid I, hal: 61) yaitu:

a. Diwaktu yakin haid berlaku hukum haid, dilarang mengerjakan larangan bagi orang haid.

b. Diwaktu yaqin suci berlaku hukum suci diwajibkan mengerjakan semua kewajiban bagi orang suci dan boleh mengerjakan larangan bagi orang yang sedang haid.

c. Diwaktu mungkin suci/haid berlaku hukum mutahayyiroh yakni dalam larangan sama dengan orang haid dalam masalah kewajiban sama dengan orang suci.(selengkapnya di bagian ketujuh)

d. Diwaktu mungkin suci/haid/berhenti juga berlaku hukum mutahayyirah, tapi diwajibkan mandi pada tiap-tiap mau mengerjakan sholat.

Untuk mengetahui waktu-waktu yakin haid, yakin suci, mungkin haid/suci, mungkin suci/haid/berhenti ialah:

1. Apabila ia ingat tanggal permulaan haidnya, maka pada tanggal itu 24 jam (1 hari 1 malam) dihukumi yakin haid, dan 14 hari sesudah itu dihukumi mungkin suci/haid/berhenti setelah itu dihukumi yakin suci. Lihat contoh I

2. Apabila ia ingat tanggal berhenti haidnya, maka pada tanggal itu 24 jam sebelum waktu berhentinya dihukumi yakin haid dan 14 hari sebelum itu dihukumi mungkin suci/haid dan sebelumnya lagi dihukumi yaqin suci. Lihat contoh II

3. Apabila ingat pada tanggal tertentu haid, akan tetapi lupa permulaan dan berhentinya, maka pada tanggal itu dihukumi yakin haid, dan darah 14 hari sebelumya dihukumi mungkin suci/haid, dan darah 14 hari sesudahnya dihukumi mungkin suci/haid/berhenti. Lihat contoh V.

Contoh I Eka bulan

Muharrom : Haid mulai tanggal 1 lupa berapa hari lamanya.

Shaffar : Haid 1-30




Rumus: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24-30




Ket: Yakin haid

Mungkin suci/haid/berhenti

Yakin suci


Contoh II Eka bulan

Muharrom : Haid dan lupa berapa hari lama haidnya, tapi ia ingat haidnya berhenti tanggal 30 waktu ashar.

Shaffar : 1-30




Rumus: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30




Ket: Yakin haid

Mungkin suci/haid

Yakin suci

Contoh III Eka bulan

Muharrom : Haid mulai tanggal 6 dan lupa berapa hari lamanya haidnya

Shaffar : 1-30

Rumus: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23-30

Ket: Yakin haid

Mungkin haid/suci/berhenti

Yakin suci

Contoh IV Eka bulan

Muharrom : Haid dan lupa berapa hari lamanya, tapi ia ingat haidnya berhenti tanggal 20 waktu ashar.

Shaffar : Haid 1-30




Rumus: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23-30

Ket: Yakin Haid

Mungkin suci/haid

Yakin suci


Contoh V Eka bulan

Muharrom : Pada tanggal 10 ia ingat sedang haid dan lupa berapa hari lamanya. Sedangkan ia juga lupa kapan waktu mulai haid dan berhentinya.

Shaffar : Haid 1-30




Rumus: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27-30




Ket: Yakin haid

Mungkin suci/haid

Mungkin suci/haid/berhenti

Yakin suci

  1. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Nasiyah Li Adatiha Qadran Wawaktan (Mutahayyirah)

Ialah wanita yang sudah pernah atau terbiasa haid, sedangkan ia tidak dapat membedakan darahnya dan lupa kebiasaan haid sebelumnya baik waktu dan lamanya.

Maka dalam beberapa masalah dihukumi seperti orang haid yaitu:

§ bersetubuh atau hanya bersenang senang dengan besentuhan kulit yang terdapat antara pusar dan lutut.

§ Berdiam dalam masjid kecuali untuk mengerjakan ibadah yang bertempat di masjid seperti thowaf atau I’tikaf apabila darahnya dikhawatirkan tidak menetes.

§ Menyentuh/membawa alqur’an atau membacanya kecuali dalam sholat

Dan dalam beberapa masalah tertentu sama dengan orang suci yaitu:

§ Thalaq

§ Dalam ibadah yang membutuhkan niat seperti sholat, puasa, I’tikaf, dan thowaf.[50]

Bagi mustahadloh mutahayyirah ini juga diwajibkan mandi tiap-tiap hendak mengerjakan sholat hal tersebut apabila lupa waktu berhentinya haid sebelumnya Tapi apabila ia ingat waktu berhentinya, maka yang diwajibkan mandi pada waktu berhentinya haid tersebut, misalnya ingat waktu haid sebelumnya berhenti pada waktu ashar, maka yang diwajibkan mandi pada tiap-tiap waktu ashar.[51]

Apabila istihadlohnya terjadi pada bulan Ramadlon, maka wajib baginya berpuasa satu bulan penuh dan menambah lagi satu bulan 6 hari, yang enam hari terakhir, tiga hari dilakukan di awal bulan tanggal 1 2 dan 3 yang tiga harinya lagi dilakukan di pertengahan bulan dari tanggal 16 17 18.[52]

Diwajibkan puasa 2 bulan 6 hari bagi mutahayyiroh, karena puasa satu bulan yang dianggap syah hanya 14 hari karena ada kemungkinan keluarnya darah secara terputus-terputus atau dimungkinkan haidnya dimulai pertengahan hari dan berhentinya juga pertengahan hari, seperti mulai haid pertengahan tanggal 1 dan berhenti pada pertengahan hari tanggal 16. Jadi, kalau berpuasa dua bulan puasa yang sah hanya 28 hari dan masih harus menambah 2 hari, untuk menambah 2 hari harus berpuasa 6 hari 3 hari di awal bulan yaitu tanggal 1 2 3 dan 3 hari di pertengahan bulan dari tanggal 16 17 18, sebab 2 hari di antara tanggal yang enam itu haid dimulai dari mana saja tetap suci. Lihatlah contoh di bawah ini.

Jika haid dimulai tanggal 1 yang yakin sah tanggal 17 dan 18

Jika haid dimulai tanggal 2 yang yakin sah tanggal 1 dan 18

Jika haid dimulai tanggal 3 yang yakin sah tanggal 1 dan 2

Jika haid dimulai tanggal 16 yang yakin sah tanggal 2 dan 3

Jika haid dimulai tanggal 17 yang yakin sah tanggal 16 dan 3

Jika haid dimulai tanggal 18 yang yakin sah tanggal 16 dan 17[53]

Adapun cara mengganti puasa satu hari bisa dilakukan dengan cara berpuasa 3 kali dengan rincian sebagai berikut:

§ berpuasa satu hari lalu Puasa kedua dilaksanakan sesudah hari kedua dan sebelum hari keenam belas dari puasa yang pertama.

§ Puasa ketiga harus dilaksanakan sesudah hari keenam belas dari puasa pertama dengan catatan jarak antara puasa ketiganya dengan hari kelima belas tidak melebihi jarak antara puasa pertama dengan puasa kedua.

Lihatlah contoh-contoh berikut ini

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17[54]

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

karena jika haid dimulai pada hari pertama atau hari (sebelum puasa yang kedua) puasa yang syah yaitu puasa yang ketiga, jika haidnya dimulai pada puasa keduanya atau hari (sebelum puasa ketiga) maka puasa yang syah yaitu puasa pertamanya, jika haidnya berakhir pada hari pertamanya atau hari (sebelum puasa yang kedua), maka puasa yang syah yaitu puasa kedua dan jika haidnya berhenti pada hari keduanya atau hari (sebelum puasa ketiga) puasa yang syah yaitu puasa ketiga

kesimpulan

§ Bagi wanita yang mengalami istihadloh pada bulan pertama (putaran pertama) diwajibkan mandi setelah darah yang dikeluarkan genap 15 hari, dan mengganti sholat yang ditinggalkan di waktu-waktu yang dihukumi suci. Sedangkan pada bulan/putaran kedua dan selanjutnya diwajibkan mandi setelah masa haidnya telah lewat. Seperti:

1. Bagi mubtadian dan mu’tadah yang mumayyizah diwajibkan mandi setelah darah yang keluar berganti darah lemah.

2. Bagi mubtadiah ghairu mumayyizah diwajibakan mandi setelah darah yang keluar genap 24 jam.

3. Bagi mu’tadah ghairu mumayyizah dzakirah ladatiha qadran wawaktan diwajibkan mandi setelah darah yang keluar mencapai kebiasaan haidnya.

4. Bagi mu’tadah ghairu mumayyizah dzakirah liadatiha qadran la waktan atau yang waktan la qadran di waktu yakin suci wajib berlaku hukum suci dan di waktu yakin haid berlaku hukum haid, di waktu mungkin suci/haid berlaku hukum mutahayyiroh, di waktu mungkin suci/haid/berhenti selain berlaku hukum mutahayyiroh juga diwajibkan mandi tiap-tiap hendak melaksanakan sholat.

  1. Cara Membedakan Darah Istihadloh Dengan Nifas

Istihadloh dalam nifas ialah darah yang keluar melebihi batas maksimal nifas yaitu 60 hari dan tidak diselangi putus, apabila sudah diselangi putus walaupun hanya sebentar, darah yang keluar setelah itu bukan dihukumi darah istihadloh lagi tetapi dihukumi darah haid.[55]

Untuk membedakan darah istihadloh dengan nifas tidak ada bedanya dengan tata cara membedakan darah istihadloh dengan haid. Yaitu dengan juga melihat apakah mubtadiah atau mu’tadah, mumayyizah atau ghairu mumayyizah. Bedanya hanya dalam syarat mumayyizah, yaitu darah kuatnya harus tidak lebih dari 60 hari (batas maksimal nifas) dan tidak ada syarat dalam darah lemahnya. Bagi mubtadiah dan mu’tadah yang mumayyizah (dapat membedakan darahnya) hukum nifas dan istihadlohnya dikembalikan kepada perbedaan darahnya, darah kuat dihukumi darah nifas, dan darah lemah dihukumi darah istihadloh. Sedangkan bagi ghairu mumayyizah (tidak dapat membedakan darahnya), baik yang mubtadiah maupun yang mu’tadah darah yang keluar setelah darah yang dihukumi nifas, dihukumi sebagai mustahadah haid. yakni disamakan dengan kebiasaan haid dan suci sebelum mengalami nifas bagi yang sudah pernah haid, bagi yang belum pernah mengalami haid darah yang keluar setelah darah yang dihukumi nifas 29 hari dihukumi darah istihadloh dan 24 jam dihukumi darah haid dan begitu selanjutnya. [56] dari beberapa penjelasan di atas untuk lebih difahami di sini penulis akan merumuskan secara simple satu persatu dan untuk penjelasan yang lebih luas dapat pembaca lihat dalam kitab (Fatawa Al-kubro Al-fiqhiyah Li ibni Hajar Al-haitami Hal 95-96).

1. Mubtadiah dan Mu’tadah yang Mumayizah

Mubtadiah yaitu wanita yang pertama kali nifas, sedangkan mu’tadah adalah wanita yang sudah pernah nifas kemudian mengalami istihadloh (mengalami pendarahan melebihi 60 hari) tapi keduanya dapat membedakan darahnya antara yang kuat dan yang lemah. Maka darah kuat dihukumi nifas dan darah lemah dihukumi istihadloh dengan syarat darah kuatnya tidak lebih dari 60 hari dan tidak ada persyaratan bagi darah lemahnya.[57] Perhatikan contoh-contoh berikut ini.

Contoh I Mubtadiah Mumayyizah

Tanggal 1 Muharrom Eka melahirkan pertama kalinya dengan mengeluarkan darah selama 70 hari dengan perincian sebagai berikut:

1 Muharrom sampai 10 Shaffar (40 hari) hitam (nifas)

11 Shaffar sampai 10 Rabiul Awal (30 hari) merah (istihadloh)

Contoh II Mu’tadah Mumayyizah

Tahun 1427 H Eka melahirkan nifas 40 hari

Tahun 1429 H, tanggal 1 Muharrom Eka melahirkan lagi dan mengalami pendarahan selama 80 hari dengan perincian sebagai berikut:

1 Muharrom sampai 20 Shaffar (50 hari) hitam (nifas)

21 Shaffar sampai 20 Rabiul Awal (30 hari) merah (istihadloh)

2. Mubtadiah Ghairu Mumayyizah

Ialah wanita yang baru pertama kali nifas kemudian mengalami istihadloh dan ia tidak dapat membedakan darahnya antara yang kuat dan yang lemah, maka hukum nifasnya hanya setetes dimulai sejak keluarnya darah.[58] dan selebihnya disamakan dengan suci dan haid sebelum ia mengalami nifas apabila sudah pernah haid. Apabila belum pernah mengalami haid maka 29 hari setelah nifas dihukumi darah istihadloh dan 24 jam dihukumi haid.[59] Begitu juga selanjutnya. Perhatikan contoh-contoh berikut ini:

Contoh I

Eka melahirkan pertama kali, mengeluarkan darah 70 hari dan ia tidak bisa membedakan darahnya, sedangkan kebiasaan haidnya sebelum itu adalah haid 5 hari, dan suci 20 hari maka haidnya hanya setetes setelahnya 20 hari istihadloh, 5 hari haid, dan begitu seterusnya, 20 hari istihadloh dan 5 hari haid.

Contoh II

Eka melahirkan pertama kali, mengeluarkan darah 70 hari dan ia tidak dapat membedakan darahnya sedangkan ia belum pernah mengalami haid. Maka nifasnya hanya setetes 29 hari istihadloh, 24 jam haid dan begitu selanjutnya, 29 hari istihadloh dan 24 jam haid.

3. Mu’tadah Ghairu Mumayyizah Dzakirah Li Adzatiha

Ialah wanita yang sudah pernah nifas kemudian di tahun berikutnya nifas lagi dan mengalami istihadloh. Sedangkan ia tidak dapat membedakan darahnya, tetapi ingat kebiasaan nifas sebelumnya maka nifasnya disamakan dengan nifas sebelumnya, selebihnya disamakan dengan suci dan haid sebelumnya apabila sudah pernah haid dan apabila belum pernah mengalami haid 29 hari sesudahnya istihadloh dan 24 jam dihukumi darah haid.[60] Begitu juga seterusnya. Lihatlah contoh-contoh berikut ini:

Contoh I

Tahun 1428 H, Eka melahirkan nifas 20 hari.

Tahun 1430 H, melahirkan lagi dan keluar darah selama 80 hari, sedangkan kebiasaan haid sebelum itu 10 hari haid dan 25 hari suci. Maka nifasnya 20 hari disamakan dengan nifas sebelumnya, setelah itu 25 hari istihadloh, 10 hari haid, dan begitu seterusnya 25 hari istihadloh dan 10 hari haid.

Contoh II

Tahun 1427 Eka melahirkan nifas 30 hari

Tahun 1429 melahirkan lagi dan keluar darah 80 hari dan ia belum pernah mengalami haid, maka nifasnya 30 hari disamakan dengan nifas sebelumnya setelah itu 29 hari istihadloh, 24 jam haid dan begitu selanjutnya.

4. Mu’tadzah Ghairu Mumayyizah Nasiyah Li Adazatiha

Ialah wanita yang sudah pernah nifas kemudian di tahun berikutnya nifas lagi dan mengalami istihadloh sedangkan ia tidak dapat membedakan darahnya dan lupa kebiasaan nifas sebelumnya, maka hukumnya disamakan dengan Mubtadiah Ghairu Mumayyizah pendapat ini diunggulkan oleh imam haramaiin yaitu nifasnya hanya setetes dan pendapat yang lain mengatakan mustahadloh semacam ini harus hati-hati[61]

BAB IV

HAL-HAL YANG DIHARAMKAN BAGI ORANG YANG HAID DAN NIFAS

Ada beberapa hal yang diharamkan bagi orang-orang yang sedang haid atau nifas yaitu:

  1. Sholat, baik sholat fardlu atau sholat sunnah begitu juga sujud syukur dan sujud tilawah. Shalat yang ditinggalkan dalam kondisi haid atau nifas tidak usah diganti, dan makruh hukumnya apabila menggantinya bahkan menurut Imam Baidhawi haram.[62] Tapi apabila haid atau nifas itu datang pada waktu yang seandainya mengerjakan sholat masih mencukupi atau sekaligus dengan bersucinya bagi bagi orang yang hadast terus menerus dan orang yang tayamum sedangkan ia masih belum mengerjakan sholat maka sholat pada waktu itu harus diganti tapi tidak dengan sholat sesudahnya walaupun bisa dijama’.[63] Seperti haidnya datang diwaktu dhzuhur pukul 01.00 sedangkan ia masih belum mengerjakan sholat maka wajib baginya mengganti sholat dhzuhurnya itu dan tidak dengan sholat asharnya. Berbeda dengan haid atau nifas yang berhenti pada waktu yang sekiranya masih cukup untuk melaksanakan shalat walaupun hanya Takbiratul Ihramnya saja, maka wajib baginya mengganti shalatnya. Apabila haid dan nifasnya itu berhenti pada waktu sholat yang bisa dijama’ maka wajib juga mengganti sholat sebelumnya. Misalnya haid atau nifasnya berhenti pada waktu isya’, maka wajib baginya mengganti shalat magribnya, atau haidnya berhenti pada waktu asahar dan masih ada waktu sholat walau hanya cukup untuk takbiratul ihramnya saja maka wajib mengganti sholat asharnya sekaligus dengan dhzuhurnya .[64]ketentuan mengganti sholat sperti diatas juga berlaku untuk mani’ sholat (penghalang kewajiban sholat ) yang lain yang kesemuanya ada enam, yaitu: anak-anak sebelum baligh, kafir asli, gila, ayan haid dan nifas.(lihat Raudlotutholibin 298).

Adapun seseorang yang setelah hilangnya mani’ lalu kemudian datang mani’ lagi, jika antara mani’ pertama dengan mani’ kedua mencukupi waktu untuk mengerjakan sholat seringan mungkin sekaligus dengan bersucinya maka wajib mengganti sholatnya yang ditinggalkan waktu itu. Apabila mani’ yang pertama hilang di waktu sholat yang bisa di jama’ dan sebelum datangnya mani’ yang kedua masih ada waktu yang cukup untuk mengerjakan dua sholat seringan mungkin sekaligus dengan bersucinya maka selain wajib mengganti sholat yang ditinggalkan waktu itu juga sholat sebelumya, tapi apabila hanya cukup mengerjakan satu sholat saja maka hanya sholat diwaktu itu saja yang wajib diganti tidak dengan sholat sebelumnya. Perhatikan contoh-contoh berikut ini:

- seseorang yang sejak pagi ayan dan baru sembuh diwaktu ashar kemudian haid

  1. Puasa, baik puasa wajib atau puasa sunnah, dan wajib baginya maengganti puasanya apabila puasa wajib.[65]
  2. Membawa Al-Qur’an kecuali dalam keadaan darurat, dan tidak diharamkan membawa tafsir yang lebih banyak tafsirnya dari pada Al-Qur’annya. Termasuk juga Al-Qur’an terjemah, atau tidak haram juga membawa Al-Qur’an dengan benda lain dengan tujuan tidak membawa Al-Qur’an.[66]
  3. Membaca Al-Qur’an dengan niat membacanya walaupun hanya satu huruf tapi tidak diharamkan membaca dalam hati atau membaca dzikir-dzikar yang ada dalam Al-Qur’an dengan maksud dan tujuan tidak membaca Al-Qur’an.[67]
  4. Menyentuh Al-Qur’an begitu juga menyentuh kulitnya selagi masih dinisbatkan kepada Al-qur’an tetapi apabila sudah tidak dinisbatkan lagi seperti dijadikan kulit kitab, maka tidak ada keharaman menyentuhnya.[68]
  5. Thawaf. Baik thawaf wajib atau thawaf sunnah, atau termasuk rentetan ibadah haji atau tidak.[69]
  6. Berdiam dalam masjid atau lewat dalam masjid jika darahnya dihawatirkan menetes.[70]
  7. Jima’ haram bagi suaminya berhubungan seks (jima’) atau hanya bercumbu rayu dengan bersentuhan kulit yang terdapat antara pusar dan lutut.[71]
  8. Thalaq, haram bagi suaminya menthalaq istrinya dalam keadaan haid atau nifas.

Hal di atas tetap diharammkan bagi orang yang haid atau nifas. Walaupun sudah berhenti sebelum bersuci (mandi) kecuali puasa dan thalaq.[72] Imam Rofi’I berkata: “Segala Aspek hukum yang berlaku bagi haid juga berlaku bagi nifas kecuali dalam dua permasalahan; 1. Haid menjadi ketentuan usia baligh sedangkan nifas tidak Karena telah didahului oleh inzalul mani, 2. Haid berkaitan dengan masa ‘Iddah dan masa Istibra’ sedangkan nifas tidak.[73]

BAB V

PENUTUP

Perbedaan darah istihadloh dengan darah haid atau nifas dapatlah dilihat dari kuat dan lemahnya darah apabila darah tersebut dapat dibedakan baik dari segi warna dan sifatnya, tapi apabila darah tersebut tidak dapat di bedakan baik karena satu macam atau walau dapat dibedakan tapi tidak mencukupi syarat-syaratnya, maka cara membedakan darah istihadhloh dengan haid maupun nifas bisa dilihat dari kebiasaan haid atau nifas sebelumnya.

Oleh karena itu disini penulis menganggap perlu untuk mengingatkan, bagi para wanita muslimah untuk mencatat kebiasan haid dan suci yang dialaminya setiap kali datang bulan, agar nanti mudah dan tidak kebingungan dalam membedakan darah haid dan istihadlohnya apabila kelak ia mengalami istihadloh.

Dan akhir kata dari penulis semuga Allah tetap melimpahkan karunianya kepada kita semua, sehingga kita tetap berada pada jalan yang diridoinya baik di dunia maupun di akhirat nanti. Waffaqanallah lima Yuhibbu Wa Yardha. Amin Ya Rabbal Alamin.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Abi Zakariya Al-Ansori, hasiyah syarqawi, Darl Fikr.
  2. syaikh sulaiman bin Muhammad bin Umar, Hasyiyah Bujairimi jilid I,Darul Kutub Al-alamiyah, Bairut 2003.
  3. Syaikh Sulaiman Al-Bujairimi, Bujairimi Alal Khatib jilid I, Darl Fikr, Bairut 1995.
  4. Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-ramli, Nihayatul Muhtaj Jilid I, Darl Fikr, Bairut 2004.
  5. Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, Hasiyah Al-Bajuri Jilid I, Al-hidayah, Surabaya.
  6. Shihabuddin Qulyubi & Syaik Amirah, Qulyubi Wa Amirah Jilid I, Toha Putra, Semarang.
  7. Abi Ishaq ibrahim bin Ali Bin yusuf Assirazi,Al-Muhadzab Jilid I, Darl Fikr, Bairut. 1994.
  8. Al- allamah Sholeh KAmil Sayyid Abi Bakar, Ianatut Tholibin Jilid I, Al-Hidayah, Surabaya.
  9. Muhammad Al-syarbini Al-Khatib, Al-Iqna’, Al-Hidayah, Surabaya.
  10. Syaikh Ali As- Shobuni, Rawaiul Bayan, Darl Kutub Al-islamiyah, Jakarta. 1999
  11. Syaikh Al-Islam Abi Zakariya Al-Ansori, Fathul Wahhab, Irama Sari, Surabaya.
  12. Sayyid Abdurrahman, Bughiyatul Mustarsyidin, Al-hidayah, Surabaya.
  13. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islami Wa Adillatuhu, Darl Fikr, Damsik. 1989.
  14. Ibnu Hajar Al-Haitami, Fatawa Al-kubro Al-fiqhiyah, Darl Fikr.
  15. Taqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad, Kifayatul Ahyar, Syirkah An-nur.
  16. Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Riyadul Badi’ah, Al-hidayah Surabaya.
  17. Syaikh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Kasyifatus Saja, Al-hidayah Surabaya
  18. Sihabuddin Ahmad Bin hajar Al-Haitami, Minhajul Qowim, Al-hidayah Surabaya
  19. zainuddin, Risalah Muhimmah Lil Fatayat.
  20. Terjemah Al-Qur’an, Departemen Agama, Diponegoro. Bandung. 2003



[1] Muhammad Al-syarbini,Iqna’ juz I.Al-Hidayah, Surabaya Hal: 82.

[2] Sihabuddin Qulyubi & Syaikh Amirah, Qulyubi wa Amiroh jilid I, Toha Putra, Semarang. Hal 98.

[3] Syaikh Sulaiman Al-Bujairimi, Bujairimi ‘Alal Khotib jilid I, Hal: 340

[4] Terjemah AL-Qur’an, Departemen Agama RI, Diponegoro, Bandung. Hal: 27

[5]. Muhammad Al-syarbini, Iqna’ juz I.Al-Hidayah, Surabaya Hal: 88.

[6] Ali As-Shobuni, Rawaiul Bayan Jilid I. Darl Kutub Al-islamiyah, Jakarta. Hal: 279.

[7] Ibid.Hal: 279

[8] Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj jilid I. Darl Fikr, Bairut 1994 hal: 322/Syaikh Muhammad Nawawi, Riyadul Badi’ah, Al-Hidayah, Surabaya. hal: 28.

[9] Sihabuddin Ahmad bin Hajar Al-Haitani, Minhajul Qowim, Al-Hidayah, Surabaya, hal: 29.

[10] Wahbah Azzuhaili, Fiqih Islami wa Adillatuhu, jilid I, Darl Fikr, Damsik, hal: 456.

[11] Syekh Ibrohim Al-Bajuri, Bajuri Ala Ibni Qosim, jilid I, Al-Hidayah, Surabaya, hal: 112

[12] Minhajul qawim 29

[13] bajuri 110

[14] Syekh Ibrohim Al-Bajuri, Bajuri Ala Ibni Qosim, jilid I, Al-Hidayah, Surabaya, hal: 110

[15] Sayyid Abdurrahman, Bughiyatul Mustarsidin, Al-Hidayah, Surabaya, hal: 31.

[16] Zainuddin, Risalah Muhimmah Lil Fatayat, MIMU II, hal: 05

[17] Syekh Ibrohim Al-Bajuri, Bajuri Ala Ibni Qosim, jilid I, Al-Hidayah, Surabaya, hal: 109.

[18] Sholeh Kamil Sayyid Abu Bakar, I’ Anatut Thalibin, Al-Hidayah, Surabaya, hal: 73/ Muhammad Al-syarbini, Iqna’ juz I.Al-Hidayah, Surabaya, hal: 85/ syekh Ibrohim Al-Bajuri, Hasiyah Bajuri Jilid I, Al-hidayah, Surabaya, hal: 112.

[19] Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Riyadul Badi’ah, Al-Hidayah, Surabaya, hal: 27.

[20] Dalam kitab I’anatut Tholibin mengutib dalam kitab Bujairimi menjelaskan ada 3 pendapat bagi wanita yang melahirkan dan mengalami keterlambatan dalam nifasnya. 1) hitungan nifasnya dimulai dari sejak melahirkan dan hukum nifasnya dimulai dari sejak keluarnya darah. 2) Hitungan nifas dan hukum nifasnya dimulai sejak keluarnya darah. 3) Hitungan nifas dan hukum nifsnya dimulai sejak melahirkan. Jadi menurut pendapat pertama dan yang kedua masa-masa sebelum keluarnya darah dihukumi suci dan boleh bagi suaminya menggaulinya. Tapi shalat-shalat yang ditinggal waktu itu harus diganti, bedanya kalau pendapat yang pertama hitungan 60 hari dimulai sejak melahirkan dan pendapat yang kedua sejak mengeluarkan darah. Adapun menurut pendapat yang ketiga masa-masa sebelum keluarnya darah juga dihukumi nifas. Tidak boleh bagi suaminya menggaulinya tapi juga shalat-shalat yang ditinggalkan waktu itu tidak usah diganti,(I’anatut Tholibin 73)

[21] Abi zakaria Al-Ansori, Hasiyah Sarqowi, Darl Fikr, hal: 158. Abul Ishaq dan Abul Abbas berpendapat bahwa darah tersebut termasuk darah nifas, karena darah tersebut tak ada bedanya dengan darah yang keluar setelah melahirkan. (Muhadzzab 63).

[22] Dalam kitab Muhadzzab dijelaskan ada 3 pendapat tentang darah yang keluar diantara anak kembar. 1) Hitungan nifas dan hukum nifasnya dimulai dari anak yang pertama, karena darah yang keluar termasuk darah yang keluar setelah melahirkan. 2) Hitungan nifas dan hukum nifasnya dimulai dari anak kedua, karena darah yang keluar setelah anak pertama tidak ada bedanya dengan darah yang keluar sebelum melahirkan bagi orang hamil, karena kondisinya masih tetap dalam keadaan hamil. Jadi menurut pendapat kedua ini darah tersebut bias termasuk darah haid atau darah fasad. 3) Darah yang keluar setelah anak pertama dihukumi nifas dan darah yang keluar setelah anak kedua dihitung nifas yang lain. Karena keduanya termasuk darah yang keluar setelah melahirkan, dalam artian wanita tesebut nifas dua kali. (Lihat Muhadzzab 63)

[23]. Syekh Ibrohim Al-Bajuri, Hasiyah Bajuri jilid I, Al-hidayah, Surabaya, hal: 109.

[24] Ibid Hal: 109

[25] Syekh Al-Islam Abi Zakaria Al-Ansori, Fathul Wahab, Juz I, Irama Sari, Surabaya, hal: 27.

[26] Kasifatus saja 18

[27] Syekh Ibrohim Al-Bajuri, Hasiyah Bajuri, jilid I, Al-hidayah, Surabaya, hal: 108/ Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 241/ Abi Zakaria Al-Ansori, Hasiyah Sarqowi, jilid I, Darl Fikr, hal: 153.

[28] Ibid.

[29] Syekh Ibrohim Al-Bajuri, Hasiyah Bajuri, jilid I, Al-Hidayah, Surabaya, hal: 108/ Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 241/ Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Bujairimi Alal Khatib, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 41/ Abi Zakaria Al-Ansori, Hasiyah Sarqowi, jilid I, Darl Fikr, hal: 153.

[30] Sarwani jilid 1 428

[31] Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Bujairimi Alal Khatib, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 345.

[32] Dalam syarat yang kedua ini hanya berlaku pada wanita yang mengeluarkan darah secara terus-menerus dan ini merupakan pendapat Imam Zayyadi (Bujairimi Alal Khatib, hal: 346/ Abi Zakaria Al-Ansori, Hasiyah Sarqowi, jilid I, Darl Fikr, hal: 154 / hasiyah jamal 249/ hasiyah sarwani 427).

[33] Syekh Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar, Hasyiah Bujairimi Ala Sarhil Minhaj, jilid I, Darl Kutub Al-Alamiah, Bairut 2003, hal: 184/ Syekh Ibrohim Al-Bajuri, Hasiyah Bajuri, jilid I, Al-Hidayah, Surabaya,hal: 110/ Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 241.

[34] Hasiyah jamal 249

[35] raudloh 255. sarwani 428

[36] Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Bujairimi Alal Khatib, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 345/ Abi Zakaria Al-Ansori, Hasiyah Sarqowi, jilid I, Darl Fikr hal: 154/ Nihayatul Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, jilid I, Darl Fikr, Bairut,hal: 341.

[37] Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 342/ Sihabuddin Qulyubi dan Syekh Amiroh, Qulyubi wa Amiroh, jilid I, Toha Putra, Semarang, hal: 103/ Abi Zakaria Al-Ansori, Hasiyah Sarqowi, jilid I, Darl Fikr, hal: 154.

[38] Abi Zakaria Al-Ansori, Hasiyah Sarqowi, jilid I, Darl Fikr, hal: 154. Berkata Al Walid: “Darah merah tersebut dihukumi darah haid, diikutkan kepada darah hitam karena darah merah mengiringi darah hitam dari segi kuatnya. Tapi tidak begitu antara darah hitam darah kuning. (Nihayatul Muhtaj, hal: 342/ sarwani 427)

[39] sebagian ulama’ berpendapat haidnya 6 atau 7 hari dikembalikan kepada kebiasaan haid yang normal bagi wanita secara umum, atau bisa dikembalikan kepada kebiasaan haid yang umum bagi wanita di daerahnya (lihat Muhadzzab jilid 1 Hal: 56)

[40] Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 342/ Syekh Ibrohim Al-Bajuri, Hasiyah Bajuri, jilid I, Al-hidayah, Surabaya, hal: 110/ Syekh Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar, Hasyiah Bujairimi, jilid I, Darl Kutub Al-Alamiah, Bairut, hal: 186/ Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Bujairimi Alal Khatib, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 245.

[41] Hasiyah al-Jamal 249. hasiyah sarwani 431

[42] Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Bujairimi Alal Khatib, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 346.

[43] Syekh Ibrohim Al-Bajuri, Hasiyah Bajuri, jilid I, Al-hidayah, Surabaya, hal: 110.

[44] Syekh Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar, Hasyiah Bujairimi, jilid I, Darl Kutub Al-Alamiah, Bairut, hal: 186/ Abi Zakaria Al-Ansori, Hasiyah Sarqowi, jilid I, Darl Fikr hal: 156/ Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 344-345.

[45] Ibid.

[46] Ibid.

[47] Syekh Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar, Hasyiah Bujairimi, jilid I, Darl Kutub Al-Alamiah, Bairut hal: 186/ Abi Zakaria Al-Ansori, Hasiyah Sarqowi, jilid I, Darl Fikr, hal: 156/ Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 344-345.

[48] Sarqawi 155-156

[49] Abi Ishaq Bin Ali Bin Yusuf Assirozi, Muhadzab, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 59.

[50] Bujairi alal khatib 347

[51] Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 346-348/ Syekh Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar, Hasyiah Bujairimi, jilid I, Darl Kutub Al-Alamiah, Bairut, hal: 188/ Syekh Ibrohim Al-Bajuri, Hasiyah Bajuri, jilid I, Al-hidayah, Surabaya, hal: 111.

[52] Syekh Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar, Hasyiah Bujairimi, jilid I, Darl Kutub Al-Alamiah, Bairut, hal: 190/ Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 350.

[53] Ibid. hal: 191/351.

[54] Hasiyah jamal 257 hasiyah bujairini 191

[55] Syekh Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar, Hasyiah Bujairimi, jilid I, Darl Kutub Al-Alamiah, Bairut, hal: 194

[56] Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 358/ Sihabuddin Qulyubi dan Syekh Amiroh, Qulyubi Wa amiroh, jilid I, Toha Putra, Semarang, hal: 109/ Syekh Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar, Hasyiah Bujairimi, jilid I, Darl Kutub Al-Alamiah, Bairut, hal: 194.

[57] Raudltut Tholibin 285

[58] Sebagian ulama’ berpendapat 40 hari (lihat raudlotut tholibin hal: 285)

[59] Raudltut Tholibin 285

[60] Ibid 285

[61] ibid 286

[62] Sarwani 413

[63] nihayatul muhtaj 397 isadurrafiq 72

[64] Syekh Sulaiman Bin Muhammad Bin Umar, Hasyiah Bujairimi, jilid I, Darl Kutub Al-Alamiah, Bairut, hal: 221. nihayatul mutaj 396 isadurrafiq 72

[65] Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Bujairimi Alal Khatib, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 359.

[66] Muhammad Nawawi, Kasyifatus Saja, Al-Hidayah, Surabaya, hal: 31.

[67] Ibid. hal: 31

[68] Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Bujairimi Alal Khatib, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 338.

[69] Ibid hal: 362

[70] Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad, Kifayatul Ahyar, Juz I, Syirka An-Nur, hal: 77.

[71] Ibid. hal: 78.

[72] Sihabuddin Qulyubi dan Syekh Amiroh, Qulyubi Wa amiroh, jilid I, Toha Putra, Semarang, hal: 100.

[73] Abi Abbas Ahmad Bin Hamzah Al-Ramli, Nihayatul Muhtaj, jilid I, Darl Fikr, Bairut, hal: 357