PENDAHULUAN
Perkembangan dan
kemajuan peradaban manusia dewasa ini tidak terlepas dari peran ilmu. Bahkan
perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring
dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap itu kita menyebut
dalam konteks ini sebagai priodesasi sejarah perkembangan ilmu; sejak dari
zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.
Semua kemajuan tersebut
adalah buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang tak pernah surut dari
pengkajian manusia. Pengetahuan berawal dari rasa ingin tahu kemudian
seterusnya berkembang menjadi tahu. Manusia mampu mengembangkan pengetehuan
disebabkan oleh dua hal utama; yakni, pertama manusia mempunyai bahasa yang
mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi
informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan
pengetahuannya dengan cepat adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur
kerangka berfikir tertentu. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh
manusia? Bagaimana manusia berpengetahuan? Apa yang ia lakukan dan dengan apa
agar memiliki pengetahuan? Kemudian apakah yang diketahui itu benar? Dan apa
yang menjadi tolak ukur kebenaran? Bagaimana kebenaran itu diaplikasikan?
Sederetan
pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan ini
sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita.
Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu, maka
akan ada aturan yang harus diperhatiakan dalam mengkajinya melalui
landasan-landasan atau dasar-dasar ilmu, yaitu landasan ontologi, landasan
epistemologi, dan landasan aksiologi. Dengan demikian dapat memberikan
pemahaman tentang suatu kerangka pendekatan pencarian kebenaran, proses yang
ditempuh dalam pencarian kebenaran tersebut dan sejauhmana kebenaran itu dapat
dikatakan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu,
permasalahan tersebut perlu diuraikan lebih lanjut melalui tema : Landasan
kefilasafatan suatu ilmu,landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Ontologi
Landasan Ontologi
bertolak pada pertanyaan dasar, yaitu apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud
hakiki objek ilmu? Bagaimana hubungan antara objek dan subjek? Dengan perkataan
lain bagaimana subjek memandang objek yang dihadapi? Bila subjek mempertanyakan
status keberadaan objek, maka secara ontologis metafisik, hakikat ‘yang ada’
atau ‘being’ ada dua jenis, yaitu objek yang konkret dan objek yang abstrak.
Pembahasan
tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut
Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan
ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being,
dan Logos=logic.
Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being
(teori tentang keberadaan sebagai keberadaan)[1]
Sedangkan
Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita
ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu
pengkajian mengenai yang “ada”[2]
Menurut A. Dardiri
dalam bukunya Humaniora, Filsafat dan Logika mengatakan, ontologi adalah
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang
berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan
(objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada; dalam
kerangka tradisional ontologi dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip
umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi
dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada[3].
Dari
beberapa pengertian diatas dapat dismpulakan bahwa :
a.
Definisi
Ontologi secara bahasa adalah berasal dari kata On yang berarti “ada”, dan
Logos yang berarti Ilmu. Jadi Ontologi adalah Ilmu tentang yang ada.
b.
Definisi
ontologi secara istilah ialah ilmu yang membahas tentang hakekat sesuatu yang
ada.
Ontologi ilmu membatasi diri pada
ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang
bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada
jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang
berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan
pascapengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan
lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme,
naturalisme, empirisme
Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan
pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1. Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Istilah monisme oleh Thomas Davidson
disebut dengan Block Universe[4].
Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran:
(a) Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu
adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme.
Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta[5]. Yang
ada hanyalah materi, yang lainnya jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu
kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa atau ruh itu hanyalah merupakan akibat
saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu.
(b) Idealisme
Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu
sesuatu yang hadir dalam jiwa[6]. Aliran
ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak
tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik.
Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya merupakan
bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik
akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati[7]. Dalam
perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan
teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu
konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini
hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi
hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.[8]
2. Dualisme
Aliran ini berpendapat
bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu
hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam
hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi.
Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.
3. Pluralisme
Paham ini berpandangan
bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari
keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai
paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur,
lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah
Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu
terbentuk dan terdiri atas 4 unsur, yaitu tanah, air, api dan udara.
Tokoh modern aliran ini
adalah William James (1842-1910 M), lahir di New York dan terkenal
sebagai seorang pshikolog dan filosof Amerika. James mengatakan bahwa, tiada
kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang
sendiri-sendiri, lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan
terus, dan segala yang kita anggap benar dalam perkembangan pengalaman itu
senantiasa berubah, karena dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat
dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tiada kebenaran yang
mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam
pengaalaman-pengalaman yang khusus, yang setiap kali dapat diubah oleh
pengalaman berikutnya.
4. Nihilisme
Nihilisme berasal darti
bahasa latin yaitu nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak
mengakui validitas alternatif yang positif. Doktrin tentang Nihilisme
telah ada sejak zaman Yunani Kuno oleh Gorgias (483-360 SM) yang memberikan
tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang
eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua, Bila sesuatu itu ada,
ia tidak dapat diketahui, sebab penginderaan itu tidak dapat dipercaya.
Penginderaan adalah suatu illusi. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat
kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahu kepada orang lain. Tokoh
sentralnya adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M) dengan teori monumentalnya
dalam dunia Kristiani : Tuhan sudah mati?.
5. Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda.
Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Aliran ini dengan tegas menyangkal
adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat trancendent. Tokohnya antara
lain adalah Soren Kierkegaar, Heidegger, Sarter, dan Jaspers.[9]
B.
Pengertian
Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa yunani kuno, Episteme
yang berarti pengetahuan, dan Logos yang berarti teori.
Menurut Uyoh (2008) Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas atau
mengkaji tentang asal, struktur, metode serta keabsahan pengetahuan. Menurut
Langeveld (1961) dalam pengantar filsafat pendidikan mengemukakan bahwa
epistemologi membicarakan hakikat pengetahuan unsur-unsur dan susunan berbagai
jenis pengetahuan pangkal tumpuannya yang fundamental, metode-metode dan
batasan-batasannya. Sedangkan menurut Jujun (2010) mengemukakan bahwa
Epistemologi adalah landasan kefilsafatan yang membahas prosedur untuk
memperoleh pengetahuan. Dengan demikian, definisi epistemologi adalah suatu
cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan
pondasi, alat, tolak ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat,
dan pengetahuan manusia[10].
Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal,
indera, dan lain sebagainya mempunyai metode tersendiri dalam teori
pengatahuan. Ada sejumlah teori untuk mendapatkannya, antara lain[11] :
1.
Metode Induktif
Metode Induktif yaitu suatu metode yang menyimpulkan
pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang
lebih umum. Dan menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris
ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut induktif bila
bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil
pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
2. Metode Deduktif
Metode Deduktif ialah
suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut
dalam suatu sistem pernyataan yang runtut . Hal-hal yang harus ada dalam metode
deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.
Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut
mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain
dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris
kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3. Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan
oleh August Comte (1798-1857 M). Metode ini berpangkal dari apa yang telah
diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala
uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak
metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan
segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja. Menurutnya perkembangan
pemikiran manusia itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu : tahap teologis,
tahap metafisis dan tahap positivistis.
4. Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan
adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan,
sehingga obyek yang dihasilkanpun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu
kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat
intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan
oleh Al-Ghozali.
5. Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk
mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato
mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang
mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistemik
tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan
C. Pengertian Aksiologi
Aksiologi berasal dari
perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang
berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”[12].
Sedangkan arti
aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai
yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh[13]
Menurut Bramel,
aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu
tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic
exppression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik,
yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.[14]
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa aksiologi
itu permasalaaaahan sesungguhnya adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud
adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan
tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada
permasalahan etika dan estetika.
Makna “etika” dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika
merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap
perbuatan-perbuatan manusia. Seperti ungkapan “saya pernah belajar etika”. Arti
kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal,
perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. Seperti ungkapan “ia
bersifat etis atau ia seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang
tidak susila”.
Objek formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari
tingkah laku manusia baik buruk. Sedangkan estetika berkaitan denganj nilai
tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan
fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif
adalah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai
akan menjadi subjektif, apabila subjek sangat berperan dalam segala hal,
kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau eksistensinya, maknanya
dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa
mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis. Dengan demikian, nilai
subjektif akan selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimilki akal budi
manusia, seperti perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu
akan mengarah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran
yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat
tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolak ukur suatu
gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas
benar-benar ada.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Landasan
ontologi meliputi hakikat kebenaran dan kenyataan yang sesuai dengan
pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif filsafat tentang apa dan
bagaimana yang “ada” itu. Adapun monoisme, dualisme, pluralisme,
nihilisme, dan agnostisisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologi
yang pada akhirnya menentukan pendapat dan kenyakinan kita masing-masing
tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.
2.
Landasan
epistimologi yaitu cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur,
metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam menemukan sumber pengetahuan
itu terdapat beberapa metode yaitu induktif, deduktif, positivisme, kontemplatif,
dan dialektis
3.
Landasan
aksiologi adalah berbicara tentang nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu
yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan
etika dan estetika. Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi haruslah diberi
nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2007.
Jujun S. Suriasumantri. Pengantar Ilmu dalam Perspektif,
cet. VI. Jakarta: Gramedia. 1985.
Dardiri, Humaniora,
Filsafat, dan Logika, (Jakarta : Rajawali, ed. I, cet. I, 1986)
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Pengantar kepada Teori Pengetahuan,
Buku II, (Jakarta : Bulan Bintang, cet. I, 1973)
Sunarto, Pemikiran Tentang Kefilsafatan Indonesia, (Yogyakarta :
Andi Offset, 1983)
Cecep Sumarna. Filsafat Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung:
Pustaka Bani Quraisy. 2006.
Harun Nasution. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1982.
http://firdausremistael.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-false-in-x-none-x
11.html diakses pada 27-11-2012
Drs.H.AhmadSupardiHasibuan,MA,.http://riau.kemenag.go.id/ind
x.php?a=artikel&id=449
Burhanuddin Salam, Logika Materil ; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta
: Reneka Cipta, 1997), cet. ke-1
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 1997), cet. ke-1.
[1]Amsal
Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2007. hlm. 132
[2]Jujun S.
Suriasumantri. Pengantar Ilmu dalam Perspektif,
cet. VI. Jakarta: Gramedia. 1985. hlm. 5
[3]Dardiri,
Humaniora, Filsafat, dan Logika, (Jakarta : Rajawali, ed. I, cet. I, 1986),
hlm. 17.
[4]
Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat, Pengantar kepada Teori Pengetahuan, Buku II, (Jakarta : Bulan
Bintang, cet. I, 1973), hlm.363
[5]
Sunarto, Pemikiran
Tentang Kefilsafatan Indonesia, (Yogyakarta : Andi Offset, 1983), hlm. 70.
[6]
Amsal
Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007. hlm.
138.
[7] Cecep Sumarna. Filsafat
Ilmu dari Hakikat Menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2006. hlm.
48.
[8]
Harun
Nasution. Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1982. hlm. 53.
[9]
Amsal Bakhtiar, hlm. 135
[10] http://firdausremistael.blogspot.com/2012/02/normal-0-false-false-false-in-x-none-x
11.html diakses pada 27-11-2012
[11]Drs.H.AhmadSupardiHasibuan,MA,.http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=449
[12]Burhanuddin Salam, Logika
Materil ; Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Reneka Cipta, 1997), cet.
ke-1, hlm. 168
[13]Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat, hlm.234
[14]Jalaluddin dan Abdullah
Idi, Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), cet.
ke-1. hlm. 106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar