Oleh
: Gufron Fauzi
A.
Pendahuluan
Muhammad s.a.w adalah utusan Allah s.w.t yang menjadi
teladan bagi umat dan rahmat bagi seluruh alam, dalam sejarah perannya bukan
hanya sebagai Rasulullah, beliau juga pemimpin masyarakat, hakim, panglima
perang, bahkan kepada negara, dan di sisi lain beliau adalah seorang suami dan
juga ayah.
Kehidupan Muhammad s.a.w terbatas akan ruang, waktu,
dan tempat. Ia hidup di masa tertentu dan tidak semua orang dapat menemuinya.
Karena itu peran para sahabat dan tabi’in, dalam memberitakan semua yang
berasal dari Rasulullah, baik ucapan, perbuatan, taqrir, sifat dan
keinginannya, sangat berarti untuk menjadi pedoman bagi hidup manusia.
Pada dasarnya Alquran sebagai mukjizat Muhammad s.a.w
adalah kitab yang sempurna. Namun, ada ayat-ayat tertentu yang harus dijelaskan
secara rinci baik makna, hukum yang terkandung di dalam, atau cara melakukannya
dan lain-lain. Dan inilah peran yang diambil Rasul s.a.w melalui
sunnah-sunnahnya.
Hadis memiliki peranan penting sebagai salah satu
sumber hukum Islam, adapun fungsinya untuk memperkuat isi kandungan Alquran,
untuk memperjelas makna kandungan Alquran yang memerlukan perincian atau
penjelasan lebih lanjut, untuk membatasi keumuman ayat Alquran sehingga tidak
berlaku pada bagian-bagian tertentu, dan untuk menetapkan hukum yang tidak
ditetapkan dalam Alquran. Semua fungsi di atas menempatkan kedudukan hadis
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sumber hukum Islam, karena itulah
tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk meninggalkan salah satunya atau
hanya mengamalkan satu saja dari kedua sumber hukum tersebut.
Dalam makalah ini secara garis besar permasalahan yang
dibahas adalah kedudukan hadits terhadap al-qur’an, fungsi hadits terhadap
al-qur’an. Semua materi di atas akan dibahas secara tuntas pada bab
selanjutnya.
B.
Kedudukan
Hadits Terhadap Alqur’an
Seluruh umat Islam, telah sepakat bahwa hadis
merupakan salah satu sumber ajaran Islam. Ia menempati kedudukan kedua setelah
Alquran. Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam baik berupa perintah
maupun larangannya sama halnya dengan kewajiban mengikuti Alquran. Hal ini
didasari karena Alquran merupakan dasar hukum pertama, yang di dalamnya berisi
garis besar syari’at Islam dan keberadaan hadis semakin menyempurnakan
kandungan makna ayat dan memperjelas suatu hukum. Maka dengan demikian,
terdapat hubungan yang sangat erat antara hadis dengan Alquran. Dan sebagai
pedoman atau pegangan hidup manusia, dalam pelaksanaannya kedua sumber
hukum ini tidak dapat di pisah-pisahkan atau seseorang tidak boleh mengamalkan
hanya salah satu dari keduanya.
Berikut dikemukakan beberapa dalil yang menjelaskan
tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum :
1.
Dalil Al-qur’an
Banyak
sekali ayat-ayat Alquran yang berisikan perintah ta’at kepada Rasul dan
mengikuti sunnahnya, salah satu di antaranya terdapat dalam
surah Ali Imran ayat 32, sebagai berikut :
قل اطيعوا الله والرّسول فإن تولّوّا فإنّ الله لايحبّ
الكافرين
“Katakanlah : Ta’atilah Allah dan rasul-Nya; jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir. “
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa taat kepada Allah berarti melaksanakan
perintah-perintah al-Qur’an dan menjauhkan larangan-Nya. Sedang taat kepada
Rasul berarti taat kepada perintah dan menjauhkan larangannya yang disebutkan
dalam sunnah dan Alquran. Perintah kembali kepada Allah berarti kembali
kepada Alquran sedang kembali kepada rasul berarti kembali kepada sunnah
baik ketika masih hidup maupun setelah wafatnya.[1]
2.
Dalil Hadits
Kedudukan
hadis sebagai sumber hukum dapat ditemukan melalui hadis-hadis Nabi. Dan dalam
salah satu hadisnya mengandung pesan yang berkenaan dengan keharusan menjadikan
hadis sebagai pedoman hidup setelah Alquran, Rasul s.a.w bersabda sebagai
berikut.
تركت فيــكم أمرين لن تضّلوا مـــاإن تمســـّكـتم
بهمــــا كتــــاب الله و سنّـتــــي.
“Aku tinggalkan dua pusaka pada
kalian, jika kalian berpegang kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat,
yaitu kitab Allah (Alquran) dan sunnah Rasul-Nya”.(H.R. al-Hakim).[2]
Hadis di atas memberikan gambaran tentang kedudukan
hadis dan merupakan pegangan hukum kepada umat Islam bahwa seorang muslim harus
berpegang teguh pada keduanya dengan melaksanakan perintah yang terdapat dalam
Alquran dan sunnah dan semua menjauhi larangannya, agar manusia tidak
tersesat dalam menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat.
3.
Kesepakatan Ulama’
Para ulama
telah sepakat bahwa sunnah sebagai salah satu hujjah dalam hukum Islam setelah Alquran. Berkaitan dengan
materi ini, Abdul Majid Khon menyimpulkan bahwa : Kehujahan sunnah
adakalanya sebagai mubayyin (penjelas) terhadap Alquran atau
berdiri sendiri sebagai hujah untuk menambah hukum-hukum yang belum diterangkan
oleh al-Qur’an. Kehujahan sunnah berdasarkan dalil-dalil yang Qath’i
(pasti), baik dari ayat-ayat Alquran atau hadis Nabi dan atau rasio yang sehat
maka bagi yang menolaknya dihukumi murtad. Sunnah yang dijadikan hujah
tentunya sunnah yang telah memenuhi persyaratan shahih, baik mutawatir
atau ahad.[3]
Seperti yang
dikatakan oleh Abu Hanifah: “Jauhilah pendapat ra‘yu tentang agama
Allah SWT! Kalian harus berpegang kepada as-Sunnah. Barang siapa yang
menyimpang daripadanya, niscaya ia sesat.”[4]
Hal itu menggambarkan betapa tingginya apresiasi para ulama terhadap hadis
sebgai sumber hukum.
C.
Fungsi Hadits Terhadap Al-qur’an
Allah SWT
menurunkan Al-Qur’an bagi umat manusia untuk dapat dipahami, maka Rasul SAW
diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya
kepada mereka melalui hadits-hadits. Dalam hubungannnya dengan Al-Qur’an,
hadits berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat
Al-Qur’an. Sehingga Ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi petunjuk bagi ummat dapat
terealisasikan dengan baik karena disertai adanya hadits sebagai penjelas.
Adapun bentuk-bentuk penjelas yang digunakan adalah :
1.
Bayan Taqrir
Bayan taqrir adalah hadis yang sesuai dengan
nash Alquran, sehingga fungsi hadis tersebut memperkuat isi kandungan Alquran.[5]
Contohnya
عن ابن
عمـــر رضى الله عنهـمــا قال :قال رســـول الله صلّي الله عليــه وســلّم:( بني
الإســــلام
على خمس,
سهــادة أن لاإله إلا الله و أن محمّـــــد رسول الله, وإقـــام الصــّلاة,
وإيتـاء الزكــــاة
, والحـج, وصوم رمضان ).
Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar r.a : Rasulullah s.a.w
pernah bersabda bahwa Islam didasarkan pada lima prinsip berikut : 1. Bersaksi
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah
Rasulullah s.a.w. 2. Mendirikan shalat. 3. Menunaikan zakat. 4. Melaksanakan
haji (ziarah ke tanah suci Makkah). 5. Puasa di bulan Ramadhan. (H.R
Al-Bukhari).[6]
Hadis di atas memperkuat keterangan perintah shalat dan zakat
(2:83), puasa (2:183), dan perintah haji (3:97).
2.
Bayan Tafsir
Bayan tafsir adalah
penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan
lebih lanjut.[7] Fungsi
hadis dalam hal ini memberikan penafsiran terhadap ayat-ayat Alquran yang masih
mujmal (ringkas atau singkat), ayat yang sukar untuk difahami, memiliki
makna yang banyak.[8] Contoh
hadis tentang pelaksanaan shalat, sebagai berikut :
.... وصــلّوا كمـا
رأيتــــــمونـي أصـلّى ... (رواه البخــــا ري)
… Dan shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku
shalat… ( Hadis Riwayat al-Bukhari).[9]
Hadis di atas merupakan perintah untuk melaksanakan
shalat seperti yang dicontohkan Rasul s.a.w, dan berdasarkan perintah Allah
s.w.t dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 43, yang artinya :
“ Dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’.”
3.
Bayan Takhṣiṣ Al-‘amm
Bayan takhshish al-‘amm : yaitu
membatasi keumuman ayat Alquran, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian
tertentu.[10]
Adapun
contohnya :
عن ابي هريرة
رضي الله عنه أنّ رسـول الله صلّي الله عليـه وسـلّم قال : القاتل لايرث.
“ Dari Abu Hurairah, r.a, Rasulullah s.a.w bersabda, ‘
Pembunuh tidak mewarisi’. “ (H.R. Ibnu Majah).[11]
Hadis tersebut memberikan batasan tentang keumuman
dari kandungan firman Allah s.w.t dalam surah an-Nisa ayat 11, yang artinya :
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian
dua anak perempuan….”
4.
Bayan Tasyri’
Bayan tasyri’i yaitu
penjelasan hadis yang merupakan penetapan suatu hukum atau aturan-aturan syara’
yang tidak ditetapkan dalam Alquran.[12]
Seperti
ketetapan Rasulullah tentang haramnya mengumpulkan ( menjadikan istri
sekaligus) antara seorang wanita dengan makciknya.
5.
Bayan Ta’yin
Bayan Ta’yin ialah al-Sunnah berfungsi menentukan mana
yang dimaksud diantara dua atau tiga perkara yang mungkin dimaksudkan oleh Al-Qur’an.
Dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat atau lafal yang memiliki berbagai
kemungkinan arti atau makna (lafal al-Musytarak), sehingga para ahli tafsir
memberikan berbagai pengertian. Seandainya lafal-lafal tersebut tidak
dijelaskan oleh keterangan-keterangan lain, maka kemungkinan pemahaman terhadap
ayat itu akan berlainan dengan tujuan yang dikehendaki, sehingga akan sulit
dilaksanakan.
Sebagai contoh, di dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa
perempuan-perempuan yang dicerai menunggu masa iddahnya sampai tiga kali quru’.
Lafal quru’ tersebut dalam surah Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi: “Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menahan) tiga kali quru’, ....”. (QS.
Al-Baqarah: 228).
Menurut asal lughah, makna harfiahnya, quru’ itu
adalah waktu yang dibiasakan (al-waqt al-mu’tad) sedangkan dalam keterangan
yang lain dikatakan bahwa waktu yang dibiasakan itu bukan berarti lain, kecuali
haid. Untuk mengetahui dan menguatkan pendapat tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a.
Iddah itu diketahui dengan
berpisahnya rahim dari kehamilan. Yang demikian itu tidak dapat diketahui
kecuali dengan adanya haid.
b.
Kebiasaan Al-Qur’an tidak pernah
mengatakan atau menyebutkan sesuatu dengan kalimat atau lafal yang dianggap
tidak sopan, walaupun yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah haid.
c.
Hadits menyebutkan tentang adanya
iddah perempuan yang ditalak itu dengan tiga kali haid. Seperti sabda
Rasulullah yang berbunyi:
ظلاق الأ مة
اثنتان وعد تها حيضتان . (رواه ابن ماجه
“Talak budak dua kali dan ‘iddahnya
dua haid”. (HR. Ibnu Majah).
Dengan
demikian jelaslah bahwa walaupun lafal quru’ dalam Al-Qur’an adalah lafal yang
mempunyai lebih dari satu pengertian, tapi yang dimaksudkan adalah haid, bukan
yang lain dari itu. Contoh lain dari bayan ta’yin ini adalah mengenai taqyid
pada ayat Al-Qur’an yang muthlaq. Misalnya dalam surah Al-Maidah ayat 3 yang
bunyinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, ....”. (QS. Al-Maaidah:
3).
Ayat di atas
secara muthlaq mengharamkan semua jenis bangkai dan darah. Namun datang hadits mentaqyid
kemuthlakan itu dengan menunjukkan adanya bangkai dan darah yang boleh dimakan.
Hadits tersebut adalah sebagai berikut:
أحلت لنا ميتتان ودمان، فأما الميتتان الحوت والجراد. واما الد مان فالكبد والطحال. (رواه ابن ماجه والحاكم).
“Telah dihalalkan bagi kamu dua (macam) bangkai dan dua (macam) darah. Adapun dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa”. (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
أحلت لنا ميتتان ودمان، فأما الميتتان الحوت والجراد. واما الد مان فالكبد والطحال. (رواه ابن ماجه والحاكم).
“Telah dihalalkan bagi kamu dua (macam) bangkai dan dua (macam) darah. Adapun dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa”. (HR. Ibnu Majah dan al-Hakim).
Dengan
adanya penjelasan tersebut, maka terbukalah beberapa pengecualian dan kemudahan
dalam pelaksanaan ajaran Islam, khususnya yang menyangkut bidang hukum.[13]
D.
Pendapat
Imam Mazhab
Tentang al-Bayan
1. Ulama ahl
al-ra’y (Abu Hanifah) membagi al-Bayan kepada tiga, yaitu :
a.
Bayan
taqrir yaitu keterangan yang didatangkan
oleh sunnah untuk memperkokoh apa yang
diterangkan dalam al-qur’an
b.
Bayan
Tafsir yaitu Menerangkan apa yang kira-kira tidak mudah diketahui
(tersembunyi pengertiannya).
2. Imam Malik
berpendirian bahwa al-Bayan terbagi kepada lima bagian, yaitu :
a. Bayan Taqrir yaitu Menetapkan
dan mengokohkan hokum-hukum Alquran, bukan mentaudhihkan, bukan mentaqyidkan
muthlaq dan bukan mentakhshishkan ‘aam.
b. Bayan at-Taudhih yaitu Menerangkan
maksud-maksud ayat
c.
Bayan
at-Tafshil yaitu Menjelaskan mujmal Alquran.
d.
Bayan al-Basthy yaitu
Memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkas keterangannya oleh Alquran.
3. Imam Syafi’i
menyebutkan bahwa al-Bayan terbagi menjadi lima macam :
a.
Alquran menjelaskan Alquran, sebagai
tambahan penjelasan
b.
Hadis menjelaskan bagian-bagian yang
terinci atau rincian yang tidak dijelaskan dalam Alquran
c.
Hadis menjelaskan makna Alquran yang
bersifat global.
d.
Hadis menjelaskan hukum baru yang
tidak tersurat dalam Alquran.
e.
Ijtihad menjelaskan suatu hukum yang
tidak tersurat dalam Alquran dan Hadis, Namun maknanya menyerupai atau mirip
dengan suatu hukum yang tersurat dalam Alquran dan hadis, inilah yang dikenal
dengan qiyas.[16]
4. Imam
Hambali, menerangkan al-Bayan terbagi kepada empat bagian, yaitu :
a. Bayan Ta’kid yaitu Menerangkan
apa yang dimaksudkan oleh Alquran.
b. Bayan Tafsir yaitu Menjelaskan
sesuatu hukum dalam Alquran.
c.
Bayan Tasyri’ yaitu
Mendatangkan suatu hukum yang tidak ada hukumnya dalam Alquran.
E. Kesimpulan
Berdasarkan kedudukan hadis terhadap
Alquran bahwa, Alquran sebagai sumber hukum pertama yang memiliki berbagai
keutamaan, dan hadis merupakan sumber hukum kedua, baik Alquran maupun hadis
wajib diikuti dan dijadikan pedoman hidup bagi setiap orang Islam. Adapun
landasan penetapan hadis sebagai sumber hukum kedua setelah Alquran dapat
dilihat dari keterangan tentang Mu’az ibn Jabal ketika menjadi hakim di Yaman,
dijelaskan bahwa dalam menetapkan hukum terhadap suatu perkara, ia merujuk pada
Alquran sebagai sumber hukum utama, dan kalau tidak didapati maka ia
memutuskannya dengan merujuk pada sunnah Rasul.
Dilihat dari fungsi hadis terhadap
Alquran secara umum dapat disimpulkan bahwa hadis memegang peranan
penting dalam memberikan penekanan-penekanan terhadap ketentuan yang sudah
ditetapkan dalam Alquran, melengkapi kesempurnaan kandungan makna ayat
Alquran yang masih bersifat umum.
DAFTAR PUSTAKA
Abdus Salam Al-Indunisi, Ahmad Nahrawi, Ensiklopedia
Imam Syafi’i : Biografi dan Pemikiran Mazhab Fiqih Terbesar Sepanjang Sejarah,
terj. Usman Sya’roni, Jakarta: Hikmah: 2008.
Kementerian Urusan Agama Islam, Al-Qur’an dan
Terjemahan, Arab Saudi: Mujamma’ Al-Malik Fahd Li Thiba’at al-Mushhaf,
1990.
Khathib, Ajaj, Ushul al-Hadits, terj. M.Qodirun
Nur dan Ahmad Musyafiq, cet 1, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, cet. 4,
Jakarta: Amzah, 2010.
Ranuwijaya,Utang, Ilmu Hadis, cet. 3,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Shiddieqy, T. M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits, cet.5, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010.
Sulaiman PL, M.Noor, Antologi Ilmu
Hadits, cet.1, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Wahid, Ramli, Abdul Sejarah Pengkajian Hadis
di Indonesia, cet. 1, Medan: IAIN Press, 2010.
Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis,
Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2005.
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadis, Jakarta:
PT.Mutiara Sumber Widya, 2001.
Zabidi, Imam, Ringkasan Shahih al-Bukhari,
terj. Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis cet. 2, Bandung: Mizan, 2009.
http://irhamni-za.blogspot.com/2010/11/hubungan-hadits-dengan-al-quran-oleh.htmldiakses pada tanggal 05-12-2012
[2] Khathib,
Ajaj, Ushul al-Hadits, terj. M.Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, cet 1,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998, hal. 28
[3] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis, h.25. dan Ramli Abdul Wahid dan Husnel Anwar
Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis, h. 216,174, 11. Shahih
adalah hadis yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh periwayat adil dan
dhabit (kuat hafalannya) hingga akhir sanadnya tidak ditemukan adanya
kejanggalan dan cacatnya. Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh
banyak orang, mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk melakukan
kedustaan. Dan Ahad adalah hadis yang tidak memnuhi syarat-syarat mutawatir,
baik diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih.
[6] Zabidi,
Imam, Ringkasan Shahih al-Bukhari, terj. Cecep Syamsul Hari dan Tholib
Anis cet. 2, Bandung: Mizan, 2009, Hal.
11
[13]http://irhamni-za.blogspot.com/2010/11/hubungan-hadits-dengan-al-quran-oleh.html diakses pada tanggal 05-12-2012
[14] Sulaiman
PL, M.Noor, Antologi Ilmu Hadits, cet.1, Jakarta: Gaung
Persada Press, 2008, hal. 37-38
[16] Ahmad
Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi’i : Biografi dan
Pemikiran Mazhab Fiqih Terbesar Sepanjang Sejarah, terj. Usman Sya’roni,
cet.1 (Jakarta: Hikmah: 2008), h.190
Tidak ada komentar:
Posting Komentar